Mengapa Islam bersikap keras dalam masalah bid'ah, menilainya sebagai kesesatan, dan pelakunya diancam akan dimasukkan ke neraka, serta Nabi Shallallahu alaihi wassalam. memberikan peringatan yang amat keras dalam masalah ini? Berikut ini adalah alasan-alasannya.
1. PEMBUAT DAN PELAKU BID'AH MENGANGKAT DIRINYA SEBAGAI PEMBUAT SYARIAT BARU DAN SEKUTU BAGI ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA.
Islam memberikan peringatan keras terhadap masalah bid'ah ini karena (seperti telah kami singgung sebelumnya) dalam kasus seperti ini, si pembuat bid'ah bertindak seakan-akan ingin mengoreksi Rabbnya dan dia memberikan kesan kepada kita atau kepada dirinya bahwa dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Seakan-akan dia berkata, "Tuhanku, apa yang Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup. Oleh karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang telah Engkau syariatkan itu." Dengan demikian, ia telah menetapkan dirinya sebagai pembuat syariat dan memberikan kepada dirinya hak untuk menciptakan syariat baru. Padahal, hak membuat syariat adalah mi1ik Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata. Oleh karena itu, Allah berfirman, "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?.... "(asy-Syuura: 21)
Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus seperti itu, si pelakunya berarti telah mengangkat dirinya sebagai sekutu bagi Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan memberikan hak kepada dirinya untuk menciptakan syariat baru dan berkreasi dalam agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat menjerumuskan seseorang menjadi musyrik kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tindakan seperti inilah yang telah merusak agama-agama langit sebelum Islam.
Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam itu? Yaitu, terjadi bid'ah secara besar-besaran dan para pemeluk agama-agama itu memberikan kepada diri mereka hak untuk menambahkan hal-hal baru dalam agama mereka, yang secara khusus dipegang oleh para pendeta dan orang-orang alim mereka sehingga agama yang mereka anut bentuknya berubah sama sekali dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam dan diabadikan oleh Al-Qur'an dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (at-Taubah: 31)
Al-Qur'an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., ia membaca ayat, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, "(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu." Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menjawab, "Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu."[30]
Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja: shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi Shallallahu alaihi wassalam. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah 'ketuhanan'-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan cara yang dia kehendaki sendiri.
Dengan demikian, orang yang membuat bid'ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SUBHANAHU WA TA’ALA dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Al-Qur'an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam., ia membaca ayat, "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah." Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, "(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu." Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. menjawab, "Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu."[30]
Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja: shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi Shallallahu alaihi wassalam. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah 'ketuhanan'-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan cara yang dia kehendaki sendiri.
Dengan demikian, orang yang membuat bid'ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SUBHANAHU WA TA’ALA dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
2. PEMBUAT BID'AH MEMANDANG AGAMA TIDAK LENGKAP DAN BERTUJUAN MELENGKAPINYA
Dari segi lain, orang yang mengerjakan bid'ah seakan-akan menganggap agama tidak lengkap, kemudian ia ingin menyempurnakan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Padahal, Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyempurnakan agama secara lengkap, sebagai bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Dia berfirman, ",...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu...," (QS al-Maa'idah[5]: 3)
Oleh karena itu, Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik (Imam Darul Hijrah) bahwa dia berkata, "Siapa yang telah membuat praktek bid'ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad saw. telah mengkhianati risalah. Karena, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.'Jika saat itu agama Islam belum lengkap niscaya saat ini tidak ada agama Islam itu."[31]
Membuat bid'ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti telah menuduh Nabi Shallallahu alaihi wassalam. berkhianat dan tidak menyampaikan risalah agama secara lengkap. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Hai Rasul, sampaikanlahapa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya (QS al-Maa'idah [5]: 67)
Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan lagi. Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima adanya penambahan sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak sempurnalah yang dapat menerima penambahan dan penyempurnaan baginya.
Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka, amat memerangi praktek bid'ah karena hal itu berarti menuduh agama Islam tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. telah berbuat khianat.
Oleh karena itu, Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik (Imam Darul Hijrah) bahwa dia berkata, "Siapa yang telah membuat praktek bid'ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad saw. telah mengkhianati risalah. Karena, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, 'Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.'Jika saat itu agama Islam belum lengkap niscaya saat ini tidak ada agama Islam itu."[31]
Membuat bid'ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti telah menuduh Nabi Shallallahu alaihi wassalam. berkhianat dan tidak menyampaikan risalah agama secara lengkap. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Hai Rasul, sampaikanlahapa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya (QS al-Maa'idah [5]: 67)
Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan lagi. Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima adanya penambahan sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak sempurnalah yang dapat menerima penambahan dan penyempurnaan baginya.
Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka, amat memerangi praktek bid'ah karena hal itu berarti menuduh agama Islam tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. telah berbuat khianat.
3. PRAKTEK BID'AH MEMPERSULIT AGAMA DAN MENGHILANGKAN SIFAT KEMUDAHANNYA
Agama yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala pada dasarnya bersifat mudah dan Allah SUBHANAHU WA TA’ALA juga mengutus nabi-Nya dengan hanifiah samhah 'agama yang orisinal dan mudah dijalankan', hanif 'orisinal' dalam akidah, dan samhah 'mudah dijalankan dalam pemberian beban hukum dan praktek ibadah'. Firman Allah: "...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...." (al-Baqarah [2]:185). Juga dalam ayat lainnya, ",...dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,..." (al-Hajj [22]: 78). Juga dalam hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, "Kalian diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan, bukan sebagai orang-orang yang membuat kesulitan. "[32]
Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid'ah mengubah sifat mudah Islam itu menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia dan menyulitkan mereka dengan berbagai macam praktek baru, serta menambahkan hal-hal baru dalam praktek keagamaan yang membuat manusia menjadi terbelenggu oleh beban berat. Padahal, Nabi Shallallahu alaihi wassalam. datang untuk membebaskan manusia dari belenggu dan beban yang berat itu yang dialami oleh umat sebelumnya. Seperti diterangkan tentang sifat Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, "...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka". (al-A'raaf [7]:157)
Dan, dalam doa-doa Al-Qur'an yang terdapat dalam penghujung surah al-Baqarah tertulis, "...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami,..." (al-Baqarah [2]: 286)
Para pembuat bid'ah itu berkeinginan mengembalikan beban-beban agama-agama langit sebelumnya ke dalam Islam dan menambahkan taklif 'beban hukum' yang memberatkan manusia serta menyulitkan mereka. Padahal, seungguhnya beban-beban agama Islam ini bersifat sederhana dan mudah dijalankan. Misalnya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya," (al-Ahzab [33]: 56)
Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, "Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia."[33]
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi? Mungkin hanya seperempat atau setengah menit! Namun, kemudian banyak orang yang mengarang kitab tentang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dan menciptakan beragam redaksi shalawat baru yang tidak diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Saya sering mendapati orang awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan ternyata ia tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu. Demikian juga halnya dengan redaksi-redaksi doa, banyak orang yang mengarang wirid dan hizb yang beragam. Saat masih kecil, setiap kali saya berangkat ke masjid sebelum subuh, saya mendapati orang-orang awam menghafal dan membaca doa yang dikenal dengan "wirid al-Bakri", yaitu sebuah redaksi doa yang disusun berdasarkan abjad bahasa Arab. Redaksi doa yang pertama dimulai dengan huruf hamzah, kedua dengan huruf ba, ketiga dengan huruf tsa, dan seterusnya.
Misalnya, redaksi doa yang dimulai dengan huruf ghain adalah, "Wahai Tuhanku, kekayaan Mu adalah kekayaan yang mutlak, sementara kekayaan kami adalah kekayaan yang muqayyad 'terbatas'". Jika Anda bertanya kepada salah seorang dari mereka yang membaca doa itu, "Apa makna mutlak dan muqayyad?" niscaya ia tidak tahu sama sekali.
Wahai saudaraku seiman, apakah ada redaksi doa yang lebih afdhal, lebih indah, dan lebih mudah dibandingkan redaksi doa Al-Qur'an dan Sunnah? Redaksi doa dari Al-Qur'an misalnya adalah, "...Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." (al-Baqarah [2]: 201)
Dan, redaksi doa dari Sunnah misalnya adalah, "Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan pegangan utama bagiku dan perbaikilah duniaku yang merupakan bekal hidupku, perbaikilah akhiratku tempat kembaliku nanti, jadikanlah hidup yang kulalui sebagai tambahan segala kebaikan yang dapat kuraih, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat istirahatku dari segala kejahatan dan keburukan. "[34]
Lantas, mengapa kita harus menyusahkan diri sendiri dan menyusahkan orang lain untuk menghafal doa-doa dengan redaksi buatan sendiri itu?
Suatu kali, saya pernah bertanya kepada seseorang, "Mengapa Anda tidak melaksanakan shalat?" Ia menjawab, "Karena aku tidak bisa berwudhu." Aku kembali bertanya, "Apakah engkau tidak mengetahui bagaimana membasuh muka, kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki?" Ia menjawab, "Kalau itu, aku mengetahuinya, namun aku tidak hafal (do'a) apa yang harus dibaca pada setiap kali membasuh anggota wudhu itu." Maksudnya, ia tidak mengetahui doa yang harus dibaca saat akan memulai berwudhu, misalnya doa, "Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan air sebagai media untuk menyucikan (diri) dan Islam sebagai cahaya." Saat istinsyaaq 'memasukkan air ke hidung', "Ya Allah, rahmatilah aku dengan semerbak surga dan Engkau meridhaiku." Saat membasuh muka, "Ya Allah, putihkanlah wajahku pada saat wajah-wajah (kalangan beriman) memutih dan wajah-wajah (kalangan kafir dan pembuat dosa) menghitam." Saat membasuh dua tangan, "Ya Allah, berikanlah buku catatan amal perbuatanku ke tangan kananku, dan jadikanlah Nabi Muhammad sebagai pemberi syafaat dan penanggungku." Dan, saat mengusap kepala, "Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka."[35]
Oleh sebagian orang, setiap gerakan wudhu disertai doa tertentu sehingga rekan kita yang malang ini menyangka bahwa agar shalat dan wudhunya sah maka ia harus menghafal seluruh doa yang banyak itu, padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal seluruh redaksi doa yang banyak itu. Mengapa hal ini harus terjadi?
Contoh yang lain adalah apa yang dinamakan oleh sebagian orang sebagai azan syar'i. Pada dasarnya, redaksi dan cara pelafalan azan mudah saja dilakukan, yaitu Allahu Akbar Allahu Akbar dan seterusnya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumandangkan azan seperti itu? Paling lama satu menit atau satu menit setengah. Namun, jika kita menguman-dangkan azan dengan cara yang biasa dilakukan pada saat ini, yaitu dengan membaca hayya 'alash-shalaaaaaah, hayya 'alal falaaaaaaah, berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu? Tentu akan memerlukan lebih dari lima menit.
Oleh mereka, kata "falah" harus dibaca lebih panjang dari kata "shalaah". Demikian juga redaksi kedua harus dibaca lebih panjang dari redaksi pertama. Tidak hanya itu, mereka juga kemudian mengarang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam yang harus dibaca selepas mengumandangkan azan.
Wahai saudaraku seiman, Rabb kita mensyariatkan lafal-lafal azan ini dan mewahyukan bentuk lafal itu kepada Nabi-Nya melalui jalan mimpi[36]yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wassalam.. Hal ini dimaksudkan agar Allah Subhanahu Wa Ta'ala mempunyai peran tertentu dalam penentuan azan itu, demikian juga Nabi Shallallahu alaihi wassalam. mempunyai peran tersendiri. Lantas, mengapa Anda kemudian menambahkan redaksi shalawat dan kata-kata tambahan terhadap azan itu yang membuat bagian Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dalam azan lebih besar dari bagian Rabb kita? Ini tidak sepatutnya terjadi.
Islam amat memerangi bid'ah agar manusia tidak memasukkan hal-hal baru yang mempersulit pelaksanaan agama, serta agar tidak menambahkan hal-hal yang membuat beban agama menjadi berlipat-lipat banyaknya daripada apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Karena, hal itu akan membuat manusia menjadi berat untuk menjalankan perintah-perintah agama.
CATATAN KAKIAgama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid'ah mengubah sifat mudah Islam itu menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia dan menyulitkan mereka dengan berbagai macam praktek baru, serta menambahkan hal-hal baru dalam praktek keagamaan yang membuat manusia menjadi terbelenggu oleh beban berat. Padahal, Nabi Shallallahu alaihi wassalam. datang untuk membebaskan manusia dari belenggu dan beban yang berat itu yang dialami oleh umat sebelumnya. Seperti diterangkan tentang sifat Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, "...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka". (al-A'raaf [7]:157)
Dan, dalam doa-doa Al-Qur'an yang terdapat dalam penghujung surah al-Baqarah tertulis, "...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami,..." (al-Baqarah [2]: 286)
Para pembuat bid'ah itu berkeinginan mengembalikan beban-beban agama-agama langit sebelumnya ke dalam Islam dan menambahkan taklif 'beban hukum' yang memberatkan manusia serta menyulitkan mereka. Padahal, seungguhnya beban-beban agama Islam ini bersifat sederhana dan mudah dijalankan. Misalnya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya," (al-Ahzab [33]: 56)
Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, "Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia."[33]
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi? Mungkin hanya seperempat atau setengah menit! Namun, kemudian banyak orang yang mengarang kitab tentang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dan menciptakan beragam redaksi shalawat baru yang tidak diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Saya sering mendapati orang awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan ternyata ia tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu. Demikian juga halnya dengan redaksi-redaksi doa, banyak orang yang mengarang wirid dan hizb yang beragam. Saat masih kecil, setiap kali saya berangkat ke masjid sebelum subuh, saya mendapati orang-orang awam menghafal dan membaca doa yang dikenal dengan "wirid al-Bakri", yaitu sebuah redaksi doa yang disusun berdasarkan abjad bahasa Arab. Redaksi doa yang pertama dimulai dengan huruf hamzah, kedua dengan huruf ba, ketiga dengan huruf tsa, dan seterusnya.
Misalnya, redaksi doa yang dimulai dengan huruf ghain adalah, "Wahai Tuhanku, kekayaan Mu adalah kekayaan yang mutlak, sementara kekayaan kami adalah kekayaan yang muqayyad 'terbatas'". Jika Anda bertanya kepada salah seorang dari mereka yang membaca doa itu, "Apa makna mutlak dan muqayyad?" niscaya ia tidak tahu sama sekali.
Wahai saudaraku seiman, apakah ada redaksi doa yang lebih afdhal, lebih indah, dan lebih mudah dibandingkan redaksi doa Al-Qur'an dan Sunnah? Redaksi doa dari Al-Qur'an misalnya adalah, "...Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." (al-Baqarah [2]: 201)
Dan, redaksi doa dari Sunnah misalnya adalah, "Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan pegangan utama bagiku dan perbaikilah duniaku yang merupakan bekal hidupku, perbaikilah akhiratku tempat kembaliku nanti, jadikanlah hidup yang kulalui sebagai tambahan segala kebaikan yang dapat kuraih, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat istirahatku dari segala kejahatan dan keburukan. "[34]
Lantas, mengapa kita harus menyusahkan diri sendiri dan menyusahkan orang lain untuk menghafal doa-doa dengan redaksi buatan sendiri itu?
Suatu kali, saya pernah bertanya kepada seseorang, "Mengapa Anda tidak melaksanakan shalat?" Ia menjawab, "Karena aku tidak bisa berwudhu." Aku kembali bertanya, "Apakah engkau tidak mengetahui bagaimana membasuh muka, kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki?" Ia menjawab, "Kalau itu, aku mengetahuinya, namun aku tidak hafal (do'a) apa yang harus dibaca pada setiap kali membasuh anggota wudhu itu." Maksudnya, ia tidak mengetahui doa yang harus dibaca saat akan memulai berwudhu, misalnya doa, "Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan air sebagai media untuk menyucikan (diri) dan Islam sebagai cahaya." Saat istinsyaaq 'memasukkan air ke hidung', "Ya Allah, rahmatilah aku dengan semerbak surga dan Engkau meridhaiku." Saat membasuh muka, "Ya Allah, putihkanlah wajahku pada saat wajah-wajah (kalangan beriman) memutih dan wajah-wajah (kalangan kafir dan pembuat dosa) menghitam." Saat membasuh dua tangan, "Ya Allah, berikanlah buku catatan amal perbuatanku ke tangan kananku, dan jadikanlah Nabi Muhammad sebagai pemberi syafaat dan penanggungku." Dan, saat mengusap kepala, "Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka."[35]
Oleh sebagian orang, setiap gerakan wudhu disertai doa tertentu sehingga rekan kita yang malang ini menyangka bahwa agar shalat dan wudhunya sah maka ia harus menghafal seluruh doa yang banyak itu, padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal seluruh redaksi doa yang banyak itu. Mengapa hal ini harus terjadi?
Contoh yang lain adalah apa yang dinamakan oleh sebagian orang sebagai azan syar'i. Pada dasarnya, redaksi dan cara pelafalan azan mudah saja dilakukan, yaitu Allahu Akbar Allahu Akbar dan seterusnya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumandangkan azan seperti itu? Paling lama satu menit atau satu menit setengah. Namun, jika kita menguman-dangkan azan dengan cara yang biasa dilakukan pada saat ini, yaitu dengan membaca hayya 'alash-shalaaaaaah, hayya 'alal falaaaaaaah, berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu? Tentu akan memerlukan lebih dari lima menit.
Oleh mereka, kata "falah" harus dibaca lebih panjang dari kata "shalaah". Demikian juga redaksi kedua harus dibaca lebih panjang dari redaksi pertama. Tidak hanya itu, mereka juga kemudian mengarang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi Shallallahu alaihi wassalam yang harus dibaca selepas mengumandangkan azan.
Wahai saudaraku seiman, Rabb kita mensyariatkan lafal-lafal azan ini dan mewahyukan bentuk lafal itu kepada Nabi-Nya melalui jalan mimpi[36]yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wassalam.. Hal ini dimaksudkan agar Allah Subhanahu Wa Ta'ala mempunyai peran tertentu dalam penentuan azan itu, demikian juga Nabi Shallallahu alaihi wassalam. mempunyai peran tersendiri. Lantas, mengapa Anda kemudian menambahkan redaksi shalawat dan kata-kata tambahan terhadap azan itu yang membuat bagian Nabi Shallallahu alaihi wassalam. dalam azan lebih besar dari bagian Rabb kita? Ini tidak sepatutnya terjadi.
Islam amat memerangi bid'ah agar manusia tidak memasukkan hal-hal baru yang mempersulit pelaksanaan agama, serta agar tidak menambahkan hal-hal yang membuat beban agama menjadi berlipat-lipat banyaknya daripada apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Karena, hal itu akan membuat manusia menjadi berat untuk menjalankan perintah-perintah agama.
[30] Ini merupakan bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Jarir dari beberapa jalan periwayatan dari Adi bin Hatim. Lihat dalam Tafsir Ibnu Katsir, (Istanbul: Dar Dakwah), 2/328
[31] Asy-Syathibi menyebut hal ini dalam kitabnya, al-I'tisham,l /49.
[32] Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a.. Nash lengkapnya adalah sebagai berikut, "Pada suatu hari, seorang arab badwi kencing di masjid. Melihat hal itu, beberapa orang langsung berdiri untuk menghajarnya. Namun, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. segera bersabda, Biarkanlah dia dan tuangkanlah di bekas kencingnya sesiraman atas seember air. Karena, kalian semata diutus untuk memberikan kemudahan, bukan untuk memberikan kesulitan." (Riyadhush Shalihin, an-Nawawi, bab "al-Hilm, wal-Inat war-Rifq)
[33] Hadits Muttafaq 'alaih, dari hadits Ka'ab bin Ajrah. Syarh Sunnah III Baghawi, tahqiq asy-Syawisy dan al-Amauth, 3/190, hadits 681.
[34] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah dalam adz-Dzikr wa Du'a, 2720.
[35] Tentang hal ini, lihat fatwa Dr. Yusuf al-Qardhawi berkenaan tentang doa-doa wudhu yang ma'tsur dan yang tidak ma'tsur, dalam bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, juz I, him. 213-214.
[36] Yaitu mimpi Abdullah bin Zaid, seperti terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah. Lihat Subulus-Salam, ash-shan'ani, bab "al-Adzaan".
[31] Asy-Syathibi menyebut hal ini dalam kitabnya, al-I'tisham,l /49.
[32] Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a.. Nash lengkapnya adalah sebagai berikut, "Pada suatu hari, seorang arab badwi kencing di masjid. Melihat hal itu, beberapa orang langsung berdiri untuk menghajarnya. Namun, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. segera bersabda, Biarkanlah dia dan tuangkanlah di bekas kencingnya sesiraman atas seember air. Karena, kalian semata diutus untuk memberikan kemudahan, bukan untuk memberikan kesulitan." (Riyadhush Shalihin, an-Nawawi, bab "al-Hilm, wal-Inat war-Rifq)
[33] Hadits Muttafaq 'alaih, dari hadits Ka'ab bin Ajrah. Syarh Sunnah III Baghawi, tahqiq asy-Syawisy dan al-Amauth, 3/190, hadits 681.
[34] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah dalam adz-Dzikr wa Du'a, 2720.
[35] Tentang hal ini, lihat fatwa Dr. Yusuf al-Qardhawi berkenaan tentang doa-doa wudhu yang ma'tsur dan yang tidak ma'tsur, dalam bukunya, Fatwa-Fatwa Kontemporer, juz I, him. 213-214.
[36] Yaitu mimpi Abdullah bin Zaid, seperti terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah. Lihat Subulus-Salam, ash-shan'ani, bab "al-Adzaan".
No comments :