بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
1. Pengantar
Pada surah ke-19 dalam Al-Qur’an yang menyandang nama Maryam, kisah kelahiran ‘Isa yang penuh mukjizat (ayat 16-34) didahului oleh kisah kelahiran Yaḥya yang juga penuh mukjizat (ayat 1-15). Ia terlahir sebagai anak Nabi Zakariyya ‘alayhis-salaam yang uzur serta istrinya yang renta dan mandul. Dalam berbagai tradisi, Nabi Yaḥya ‘alayhis-salaam diidentifikasi sebagai John Sang Pembaptis (John the Baptist). Sebagian misionaris Kristen lantas merujuk kepada satu permasalahan yang muncul pada ayat ketujuh dalam Surah Maryam, di mana kelahiran Yaḥya diumumkan:
Para misionaris tadi menyatakan bahwa ayat ini mengandung kesalahan. Dalam pemahaman mereka, menurut ayat ketujuh itu nama Yaḥya (John) semestinya unik, sehingga tak seorang pun sebelum kelahirannya memiliki nama demikian. Akan tetapi, dalam Perjanjian Lama ada lebih dari dua puluh lima rujukan terhadap nama John. Maka menurut mereka nama John (Yaḥya) tidaklah unik atau istimewa dan kesalahan Al-Qur’an menjadi jelas.
Sepertinya, awal mula kontroversi ini adalah Abraham Geiger yang menulis buku berjudul Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?:
“Ia (yakni Muhammad) mengajukan bahwa sebelum John Sang Pembaptis tak seorang pun menyandang nama John. Seandainya ia memahami sejarah Yahudi maka ia sepatutnya sadar bahwa, selain beberapa orang bernama sama yang menurut sejarah tidaklah penting dalam Kitab Tawarikh (Chronicles), ada ayah dan anak dari pendeta Makabea yang terkenal, Mattathias, yang sama-sama bernama John. Kesalahan ini pastilah gamblang bagi para penafsir Arab, maka mereka mencoba memberikan makna lain bagi kata-kata yang terang dan tak diragukan lagi itu.”[1]
Namun Geiger tidak mengutip satu pun penafsir dari kalangan Muslim untuk mendukung pernyataan-pernyataannya, dan sebagaimana akan ditunjukkan pada bagian-bagian di bawah, kita perlu berpikir bahwa jangan-jangan klaimnya bahwa “kesalahan ini pastilah gamblang bagi para penafsir Arab” adalah karangannya semata-mata.
Karena para misionaris itu tidak mampu memberi jawaban lebih lanjut atas masalah ini, maka kitalah yang harus menyelidiki serta menyediakan informasi utama yang seolah hilang. Benarkah nama Yaḥya dan John dapat dipertukarkan antara satu dengan yang lainnya? Apakah makna ayat tadi memang sejalan dengan terjemahannya? Tulisan ini akan menyelidiki berbagai hal terkait dengan nama Yaḥya.
2. Apakah John secara Linguistik Sama dengan Yaḥya?
Menurut para misionaris Kristen, nama Yaḥya adalah bentuk Arab dari nama John, dengan jabaran sebagai berikut: Nama John dalam bentuk Ibrani adalah Johanan, yang dalam bentuk Arab-nya adalah Yaḥya, dan dalam bentuk Yunani adalah Ioannes.
Nyatanya, padanan Arab untuk nama John dalam Perjanjian Baru adalah Yuḥanna, bukan Yaḥya. Demikian pula padanan Arab untuk nama John dalam Alkitab Ibrani adalah Yuḥanan bukan Yaḥya. Siapapun yang memiliki pengetahuan dasar akan rumpun bahasa Semit dapat langsung menunjukkan bahwa nama Yaḥya dan John (Yuḥanan atau Yuḥanna) adalah dua nama yang sama sekali berbeda. Anda tak perlu menjadi ahli bahasa-bahasa Semit untuk memverifikasi klaim ini; Alkitab terjemahan berbahasa Arab sudah mencukupi.
Nama John dalam Alkitab Ibrani adalah Yowchanan {yo-khaw-nawn’}, atau Johanan dalam Authorized (King James) Version, yang artinya: Jehovah has graced (Tuhan membahagiakan). Dan tokoh-tokoh dalam Alkitab yang menyandang nama itu adalah (1) seorang pendeta pada periode kependetaan agung Joiakim yang kembali bersama Zerubbabel; (2) seorang pemimpin Yahudi setelah jatuhnya Yerusalem; (3) anak tertua Raja Josiah; (4) seorang pangeran di era pasca-pengasingan dari garis keturunan Daud; (5) ayah dari Azariah, pendeta di era Sulaiman; (6) salah satu ksatria Daud dari suku Benjamin; (7) salah satu ksatria Daud dari suku Gad; (8) seorang buangan yang kembali.
Dalam berbagai alkitab versi Arab, nama ini diubah menjadi Yuḥanan sebagaimana ditunjukkan oleh teks-teks di bawah ini.
Kini kita ambil contoh dari Perjanjian Baru. Nama John (Sang Pembaptis) dalam bahasa Yunani adalah Ioannes {ee-o-an’-nace}, nama asli Ibrani. Dalam Authorized (King James) Version terdapat nama John (Sang Pembaptis), anak dari Zacharias dan Elisabeth, pendahulu Kristus, dan dengan perintah Herod Antipas ia dipenjara dan akhirnya dipenggal. John juga nama salah satu murid Yesus, penulis Gospel Keempat, anak dari Zebedee dan Salome, serta adik dari murid Yesus yang lain bernama James, dan ia pula yang (tanpa disebut namanya) dibicarakan dalam Gospel Keempat sebagai murid kesayangan Yesus dan menurut pendapat tradisional merupakan pengarang Kitab Wahyu. John juga nama sahabat dari Barnabas dan Paulus, nama belakangnya Markus. Ada pula seorang John yang merupakan anggota Sanhendrin.
Dalam berbagai alkitab Arab, nama John sebagaimana disebutkan dalam Maccabees dan Perjanjian Baru adalah Yuḥanna.
Dan tentu saja, Injil Yohanes pun menggunakan nama Yuḥanna.
Maka dari itu, padanan nama John (Yowchanan) dalam Alkitab Ibrani adalah Yuḥanan bukan Yaḥya, dan padanan Arab untuk nama John (Ioannes) dalam Perjanjian Baru adalah Yuḥanna bukan Yaḥya. Dengan membabibuta menggadang-gadang polemik anti-Islam, sebagaimana dihadirkan oleh Abraham Geiger, para misionaris Kristen telah dibuat tersesat.
3. Makna Nama Yaḥya
Kedua nama Yaḥya dan John (Yuḥanan atau Yuḥanna) sama sekali berbeda. Al-Qur’an menyampaikan bahwa putra Zakariyya bernama Yaḥya, bukan John. Al-Qur’an tidak menyebutkan nama John dalam bentuk bahasa Arabnya entah itu Yuḥanan maupun Yuḥanna.
Para peneliti bibel menekankan bahwa nama Yuḥanna dan Yuḥanan adalah sama. Dalam gospel-gospel terjemahan berbahasa Ibrani, mereka tidak menggunakan Yuḥanna melainkan mengembalikannya ke dalam bentuk asli yakni Yuḥanan. Mereka juga memberikan makna yang sama bagi kedua nama itu. Keduanya memuat Yu, yang merupakan penyingkatan dari Jehovah, nama Tuhan dalam bahasa Ibrani. Sedangkan ḥanan atau ḥanna, keduanya turunan dari kata-dasar ḥanan dalam bahasa Aramaik (sama dengan kata-dasar ḥanna dalam bahasa Arab) yang berarti “kelembutan/kebahagiaan dari Tuhan”, sama dengan nama Ibrani Hanania.
Lantas, nama Yaḥya asli Arab ataukah asing? Dalam bahasa Arab, bentuk present Yaḥya adalah bentuk orang-ketiga dari kata-dasar ḥaya. Kata-dasar ḥaya ini (yang dapat ditulis dengan alif panjang maupun alif khanjariyyah dalam bentuk present maupun past) memiliki dua makna:
- Yang pertama berasal dari al-ḥayah, yakni “hidup” yang merupakan lawan dari “mati” sebagaimana dalam contoh lan ansa laka hadha as-saniʿa ma ḥayit, yang artinya, “Saya tidak akan melupakan kebaikan Anda ini selama saya hidup.”
- Makna kedua dari kata-dasar ḥaya berasal dari al-ḥaya’ yang diakhiri dengan hamzah berarti “rasa malu/kesucian”. Dalam pengertian kedua ini bisa dikatakan ḥayitu minhu yang maksudnya seseorang malu atau bingung terhadap orang lain. Inilah mengapa ular disebut ḥayyah, yakni karena ia mengelung tubuhnya sendiri dalam bentuk melingkar.
Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama mengenai asal-muasal nama ini. As-Suyuti menyatakan dalam Al-Itqan fi ʿUlum al-Qur’an:
“Yaḥya: Anak dari Zakariyya, orang pertama yang menyandang nama itu menurut Al-Qur’an. Ia dilahirkan enam bulan sebelum ‘Isa, dan diserahi kenabian di usia muda, serta dibunuh tanpa haq. Allah menggerakkan Nobukhod Nosor dan balatentaranya terhadap para pembunuhnya. Yaḥya adalah nama non-Arab, namun dikatakan pula [oleh sebagian] sebagai berasal dari Arab. Menurut al-Wahidi: Dalam kedua kemungkinan itu, nama ini tidak dapat di-tanwin-kan.
“Al-Kirmani menyatakan: Pada kemungkinan kedua [yakni nama itu berasal dari Arab], disebutkan bahwa ia digelari demikian karena Allah membuatnya hidup dengan iman, karena rahim ibundanya menjadi hidup dengan kehadirannya, dan karena ia syahid, sebab para syuhada itu hidup di sisi Tuhan mereka [bal aḥya’un ʿinda Rabbihim yurzaqun].
“Dikatakan pula bahwa maknanya adalah yamut, yakni “ia mati” sebagaimana kita menggunakan mafazah untuk menyatakan mahlakah atau menggunakan salim untuk menyatakan ladigh.”[2]
Nama Yaḥya juga telah membuat bingung banyak orientalis. Paul Casanova beropini bahwa Yaḥya adalah sebuah “kesalahan” yang perlu “dikoreksi”:
“Maka dari itu cukup lama saya ragu untuk menyarankan koreksi-koreksi yang lebih pas menurut saya. Yang membuat saya kini melakukan hal itu adalah, harus saya sebutkan, bahwa para peneliti Barat cenderung semakin melepaskan diri dari rasa hormat penuh tahayul terhadap integritas absolut Al-Qur’an, dan bahwa peneliti “Semitisasi” Jerman, Barth, juga telah menyarankan koreksi-koreksi yang cukup penting yang salah satu di antaranya menarik perhatian saya secara khusus, karena saya telah memikirkan soal ini untuk waktu lama dan saya senang melihat hal ini disampaikan sebagaimana saya telah membayangkannya. Koreksi itu yakni Youḥanna untuk Yaḥya, Youḥanna dan bukan Yaḥya, nama untuk St. John Sang Pembaptis. Saya tadinya tak berani mempublikasikannya, pertama-tama karena alasan umum yang telah disebutkan sebelumnya, karena hal ini mengarah kepada suatu kebetulan yang aneh. Betul, orang-orang Mandai atau kaum pseudo-Kristen Santo John, yang bisa disamakan dengan orang-orang Sabian yang disebutkan dalam Al-Qur’an, memiliki kitab yang di dalamnya nabi utama mereka disebut Yahio [sic!]. Jika nama itu muncul akibat kesalahan pembacaan para pengarang Al-Qur’an, kitab itu semestinya lebih tua ketimbang difusi Al-Qur’an resmi dan segala teori yang dibangun di atas identifikasi itu akan runtuh.[3]
Mingana, mengikuti jejak Margoliouth, percaya bahwa ranah puisi pra-Islam merupakan penipuan pasca-Islam (suatu teori yang telah dibantah dengan baik oleh para peneliti Muslim maupun non-Muslim). Maka dari itu, bagi Mingana, Al-Qur’an merupakan kitab pertama dalam bahasa Arab yang “pengarangnya” menghadapi:
“… kesulitan-kesulitan besar. Ia harus menyesuaikan kata-kata baru dan ungkapan-ungkapan baru terhadap ide-ide segar, dalam suatu bahasa yang belum lagi baku dari segi tata-bahasa maupun leksikografi.”
Mingana bersandar pada penggunaan bahasa Syria demi memahami “asal” kata Yaḥya. Ia menyatakan:
Ia juga membuat pernyataan cukup aneh bahwa dalam naskah-naskah Al-Qur’an awal tanpa harakat, huruf-huruf Arab y-ḥ-y yang menyusun Yaḥya dapat dibaca menjadi:
“Yoḥanna, Yoḥannan, atau Yaḥya, dan para qari Muslim yang tak mengenal bahasa selain Arab mengadopsi bentuk yang salah yakni Yaḥya.”
Arthur Jeffery percaya bahwa pernyataan tersebut layak untuk didukung namun secara bersamaan ia memberitahu kita bahwa:
“Sepertinya tidak ada jejak nama tersebut (yakni Yaḥya) dalam literatur-literatur kuno (orang-orang Arab).”
Sebuah pertanyaan retoris perlu diajukan: Jika tidak ada jejak nama Yaḥya dalam literatur-literatur Arab pra-Islam, maka mengapa teks tanpa harakat itu harus dibaca “Yaḥya” (y-ḥ-y)? Kenapa tidak dibaca lain, misalnya t-ḥ-t? C.C. Torrey, sebagaimana Casanova dan Jeffery, juga percaya bahwa Yaḥya dalam Al-Qur’an adalah pembacaan yang salah dari Yuḥanna, namun semua qira’at (metode pembacaan) kompak dalam menyatakan bahwa y-ḥ-y tanpa harakat itu hanya bisa dibaca sebagai Yaḥya dan bukan Yuḥanna atau Yuḥanan. Selanjutnya, para orientalis yang pendapat-pendapatnya dikutip di atas juga percaya bahwa nama Yaḥya sebenarnya asing (non-Arab), namun anggapan-anggapan mereka bahwa nama Yaḥya merupakan sebuah “kesalahan” disampaikan tanpa bukti sama sekali! Meskipun kebanyakan peneliti Barat (tidak seperti Geiger atau para misionaris Kristen) sadar bahwa nama Yaḥya dan John (Yuḥanan atau Yuḥanna) sama sekali berbeda dan ditarik dari akar yang berbeda pula, mereka hanya dapat menerka-nerka asal-muasal nama tersebut.
4. Orang-orang Mandai, “Orang-orang Kristen Santo John”
Adakah John Sang Pembaptis dikenal sebagai Yaḥya oleh kelompok tertentu?
Orang-orang Mandai adalah sebuah komunitas yang hidup di Iraq dan Iran, dan berbicara dalam dialek Aramaik (atau Mandaik sebagaimana dirujuk dalam berbagai literatur). Mereka mengaku sebagai pengikut Santo John Sang Pembaptis dan terkadang dirujuk (secara salah) sebagai “Orang-orang Kristen Santo John”, suatu julukan yang awalnya dipakai oleh para misionaris Kristen dari Portugis. Mereka secara pasaran dikenal sebagai Ṣubba (tunggal: Ṣubbi). Panggilan Ṣubba diakui merujuk pada ritual utama agama mereka, yakni pembaptisan dengan cara pencelupan. Nama yang mereka sendiri pakai untuk menyebut agama dan ras mereka adalah Mandai, atau Mandaea.
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita bahas sejenak identifikasi kaum Sabian atau Ṣabi’un. Ada begitu banyak spekulasi tentang Ṣabi’un, suatu kelompok agama yang disebutkan tiga kali dalam Al-Qur’an. Para penafsir Al-Qur’an telah berteori tentang kemungkinan identitas kelompok ini. Kita hanya akan meringkas berbagai pandangan yang ada. Bagi yang tertarik, silakan konsultasikan subjek ini sebagaimana telah dibahas panjang lebar oleh Jane Dammen McAuliffe.
Sebagian penafsir Al-Qur’an telah menyebut Ṣabi’un sebagai pemuja para malaikat, dan sebagian menyebut mereka kaum monoteis, yakni mereka yang sembahyang menghadap kiblat, dan berbeda dari orang-orang Yahudi, Kristen, maupun Magi. Mereka biasanya diidentifikasi sebagai sekelompok orang dari Iraq.
Penelitian Barat mengenai identifikasi Ṣabi’un dalam Al-Qur’an kemungkinan dimulai dengan karya besar Daniel Chwolson. Satu ringkasan atas pandangan Chwolson dibuat oleh John Pederson. Chwolson mengajukan identifikasi rancu kaum Ṣabi’un. Orang-orang Mandai yang monoteis adalah salah satunya, dan yang lain adalah para pagan pemuja bintang di Harran yang oleh para sejarawan Muslim dianggap mengadopsi nama Ṣabi’un agar turut dimasukkan ke dalam kategori Ahli Kitab.
Akan tetapi Pederson membuat pengecualian terhadap identifikasi rancu dari Chwolson. Ia menyebutkan bahwa Ṣabi’un semestinya diidentifikasi sebagai golongan hanif karena:
“Mereka juga orang-orang yang percaya pada Tuhan, meski bukan Yahudi maupun Kristen; mereka contoh terdekat golongan mukmin, sebagaimana Ibrahim sendiri adalah hanif.”
Identifikasi oleh Pederson ini hadir menyamakan hanif dengan gnostik. Akibat dari hal ini adalah ia menyamaratakan penyebutan Ṣabi’un bagi orang-orang Mandai dan Ḥarran.
Penyamarataan dari Pederson juga didukung oleh E.S. Drower; namun ia mengenali pada kelompok Ḥarran pembedaan antara kelas pendeta, disebut sebagai orang-orang Naṣorai, dan kelas awam jahiliyah atau semi-jahiliyah yang disebut orang-orang Mandai. Pandangan dari Bayard Dodge adalah bahwa bukti bagi identifikasi semacam ini tidaklah mencukupi. Ia cukup puas dengan korelasi antara Ṣabi’un dan Mandai, namun ia tak bersedia melangkah lebih dari itu, sebagaimana pernyataannya:
“… kita tidak tahu asal-muasal mereka atau kelompok-kelompok mana yang kemungkinan bisa disebut para Sabian.”
Orang-orang Mandai menyebut guru mereka John Sang Pembaptis dengan sebutan Yahia Yuhana. Dalam kitab doa resmi mereka bisa dibaca:
Perlindungan dan kejayaan bagimu.”
Salah satu kitab suci mereka disebut Drasha d-Yahia atau Kitab Yahia. Kamus bahasa Mandai menyajikan keterangan lebih lanjut untuk nama “iahia” dan “iuhana” sebagaimana digunakan dalam kitab-kitab suci mereka.
Perhatikan tiadanya ḥ (h tegas atau ح dalam abjad Arab, ditransliterasi lewat simbol h dengan titik di bawahnya), sehingga Yahia Yuhana menggunakan “h lembut”, tidak seperti dalam bentuk Arab dan Aramaik-nya. Dalam dialek Aramaik dari orang-orang Mandai, bunyi ḥ memang pernah ada, namun vokalisasi ini telah hilang.
Nama Yahia dalam Yahia Yuhana telah menjadi teka-teki bagi para peneliti Barat. Menurut mereka, Yahia bukanlah nama Aramaik melainkan nama Arab, namun sebagaimana telah kita bahas, ada perbedaan pendapat di kalangan linguis Arab mengenai asal-usul dan makna nama Yaḥya. Kata ḥaya dalam bahasa Arab memiliki padanan dalam bahasa Aramaik dan Ibrani, dan jelas memiliki akar yang sama, dengan asal-usul yang identik. Dalam bahasa Syria, kata kerja ḥy (past tense) berarti “hidup; sembuh; reda (terkait rasa sakit)”; dengan neḥḥe sebagai bentuk present/future tense untuk orang ketiga tunggal. Dan dalam banyak dialek Aramaik, nama ini menjadi yeḥye atau yaḥye; yang terakhir mirip dengan bentuk Arab Yaḥya, yang apabila bertanda imalah akan dibaca Yaḥyei. Dalam qira’at (metode pembacaan) Ḥafṣ, dibaca Yaḥya tanpa imalah. Sedangkan dalam qira’at Warsh dan Ḥamzah dibaca Yaḥyei dengan imalah.
Kembali ke bahasa Aramaik, kata-sifat ḥayya berarti “hidup, mentah (tidak dimasak), murni (tidak bercampur), mengalir (terkait air)” sedangkan ḥayye berarti “hidup, keselamatan”, ḥayutha berarti “kehidupan”, ḥaywtha berarti “hewan”, ḥaytha berarti “bidan”.
Untuk memecahkan teka-teki ini (yakni keberadaan nama Yahia dalam Yahia Yuhana), para peneliti Barat telah menyajikan berbagai penjelasan, mulai dari diselipkannya nama Yahia ke dalam mushaf-mushaf pada periode belakangan hingga pemaksaan dari kaum Muslim terhadap kaum Mandai untuk menggunakannya! Tak satu pun dari teori ini didukung oleh bukti sejarah
Maka ini mungkin waktu yang tepat untuk membahas pentingnya nama Yahia dalam literatur Mandai. Setiap orang Mandai memiliki dua nama, yakni malwasha atau nama spiritual, dan laqab atau nama sehari-hari. E.S. Drower menjelaskan perbedaan antara malwasha dan laqab:
“Yang terakhir biasanya nama Muslim dan digunakan untuk seluruh kepentingan sehari-hari, sedangkan yang pertama [yakni malwasha] adalah nama asli dan spiritualnya dan digunakan untuk seluruh kegiatan keagamaan dan spiritual.”
Maka, pada Yahia Yuhana, Yahia adalah malwasha atau nama asli dan Yuhana adalah laqab atau nama pasaran. Yang menarik di sini adalah bahwa Al-Qur’an hanya menggunakan nama asli atau spiritualnya, yakni Yaḥya. Namun bagaimana dengan Yuḥanna?
Penggunaan Yahia Yuhana oleh orang-orang Mandai untuk menyebut John Sang Pembaptis cukup menarik sebagaimana telah kita lihat di bagian sebelumnya. Kini kita akan melenceng sedikit dan membahas atribut-atribut Nabi Yaḥya ‘alayhis-salaam sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menyebut Yaḥya namun bagaimana dengan Yowchanan/Yuḥanna? Kita tahu bahwa Yowchanan/Yuḥanna bermakna “kasih sayang Tuhan”, atau bisa pula berarti “Jehovah (nama Ibrani untuk Tuhan) adalah pemberi yang baik”. Nama ini terdiri dari dua kata yakni “Yu” yang merupakan pemendekan dari Jehovah dalam Bibel Ibrani dan ḥanna, dari kata-dasar ḥanan. Ternyata, Allah menyatakan dalam Al-Qur’an:
Dengan kata lain, Nabi Yaḥya ‘alayhis-salaam adalah ḥananan dari Allah; ini tiada lain adalah parafrase dari apa yang dimaksud dengan Yowchanan/Yuḥanna, yakni “Tuhan adalah pemberi yang baik”. Yang lebih menarik adalah bahwasanya kata ḥananan muncul hanya satu kali di dalam Al-Qur’an, yakni dalam kaitannya dengan Nabi Yaḥya ‘alayhis-salaam pada ayat di atas. Perlu diingat bahwa kata dasar ḥanan memiliki makna yang mirip dalam bahasa Aramaik, Ibrani, maupun Arab.
Perhatian juga perlu diberikan pada nama Yuḥanna. Secara etimologis, “Yu” dalam bahasa Arab tidak bermakna Tuhan, berbeda dari bahasa Ibrani; maka dari itu nama “Yuḥanna” akan menjadi kurang bermakna. Kata dalam bahasa Arab untuk Tuhan adalah “Allah”. Tampaknya “Yuḥanna” dipinjamkan ke dalam bahasa Arab dari bahasa Syria atau Ibrani demi kebutuhan-kebutuhan tertentu semata.
Mari kini kita lihat apa kata para penafsir terkait ayat ketigabelas dari Surat Maryam tadi. Di bawah ini adalah pendapat Ibnu Katsir:
Banyak referensi Islami seperti Tafsir al-Qurtubi atau Al-Itqan oleh As-Suyuti dan lainnya yang menarasikan keterangan-keterangan serupa dari Ibnu ‘Abbas terkait “ḥanan”.
6. Eksegesis Surah Maryam Ayat 7“… lam naj’al lahu min qablu samiyya.”
“… tiada yang dengan [nama] itu Kami gelari sebelumnya.” [Al-Qur’an 19:7]
“… tiada yang dengan [nama] itu Kami gelari sebelumnya.” [Al-Qur’an 19:7]
Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya mengenai ayat ini:
Artinya:
“Dan Mujahid berkata: ‘[Untuk] lam naj’al lahu min qablu samiyya, [samiyya berarti] ‘shabihan’ – yang sepadan dengannya.’ Ia menarik pemaknaan ini dari perkataan Allah [surah 19 ayat 65]: ‘… fa’budhu washthabir liʿibadatihi hal ta’lamu lahu samiyya’, ‘… maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah Engkau mengetahui ada sesuatu yang [layak untuk menjadi] samiyya bagi-Nya?’. Maka arti [dari samiyya] adalah shabihan – yang sepadan dengannya. Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalḥah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa itu artinya: Tiada perempuan mandul yang melahirkan seseorang seperti dia sebelumnnya. Ini juga menunjukkan bahwa Nabi Zakariyya ‘alayhis salaam mandul sebagaimana istrinya [yang mandul sejak semula], tidak seperti Nabi Ibrahim ‘alayhis-salaam dan Sarah. Alasan terkejutnya mereka [Nabi Ibrahim ‘alayhis-salaam dan Sarah] terhadap berita gembira kelahiran Ishaq adalah karena usia tua dan bukan karena kemandulan. Inilah mengapa Nabi Ibrahim ‘alayhis-salaam berkata [dalam keterkejutannya]: ‘abasy-syartumunii ‘alaa am-massaniya l-kibaru fabima tubasy-syiruun’, artinya: ‘Benarkah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut? Lalu bagaimana engkau menyampaikannya?’ [surah 15 ayat 54]. Meskipun ia berputrakan Isma’il 13 tahun sebelumnya. Demikian pula istrinya berkata: ‘yaa waylataa a-alidu wa anaa ‘ajuu zuwwa haadzaa ba’lii syaikhan inna haadzaa lasyai-un ‘ajiib. Qaaluu ata’jabiina min amrilLahi rahmatulLahi wabarakaatuHuu ‘alaykum ahla l-bayti innaHuu Ḥamiidu m-Majiid’, artinya: ‘Aduhai, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib. Mereka (para malaikat) berkata: Mengapa engkau merasa heran terhadap ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan berkah Allah, dicurahkan kepada kamu, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji, Maha Mulia’ [surah 11 ayat 72-73].”
Kata kuncinya di sini adalah samiyya dan analisis rinci atas kata ini disajikan pada Appendix A. Kata samiyya muncul hanya dua kali di dalam Al-Qur’an, pada surah 19 ayat 7 dalam kaitannya dengan Nabi Yaḥya ‘alayhis-salaam dan pada surah 19 ayat 65 yang merujuk kepada Allah
Dengan metode menggunakan ayat Al-Qur’an untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an lainnya, Ibnu Katsir sampai pada poin bahwa kelahiran Yaḥya tidaklah seperti kelahiran-kelahiran lain. Penjelasan ini juga didukung oleh hadits dari Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas berkata bahwa yang dimaksud di sini adalah bahwa tidak pernah ada anak lelaki seperti Yaḥya dalam pengertian terlahir dari ayah yang uzur dan ibu yang mandul. Meskipun Ishaq lahir dari orangtua yang juga tua, tak satu pun dari mereka mandul. Dengan alasan inilah Ishaq tidak sama dengan Yaḥya dalam hal kelahiran.
Dan As-Suyuti menyebutkan dalam tafsirnya:
Artinya:
“Diriwayatkan Al-Faryabi dan Ibnu Abi Shaybah juga ‘Abd ibn Humayd dan Ibnu al-Mundhir serta Ibnu Abi Ḥatim dan Al-Hakim yang menilainya sahih bahwa Ibnu ‘Abbas berkata: ‘lam naj’al lahu min qablu samiyya’. Diriwayatkan ‘Abdurrazzaq dan Aḥmad dalam Al-Zuhd dari jalur ‘Ikrimah. Ibnu al-Mundhir dan Ibnu Abi Ḥatim meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas berkata terkait ‘lam naj’al lahu min qablu samiyya’: Tak pernah seorang perempuan mandul melahirkan anak seperti ia. Diriwayatkan Aḥmad dalam Al-Zuhd dan ‘Abd Ibnu Ḥumayd dan Ibnu al-Mundhir dan Ibnu Abi Ḥatim bahwa Sai’id Ibnu Jubayr berkata terkait ‘lam naj’al lahu min qablu samiyya’ yakni [samiyya berarti] shabihan – yang sepadan dengannya. ‘Abd Ibnu Ḥumayd meriwayatkan keterangan serupa dari jalur ‘Atha’. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Tarikh dari Yaḥya Ibnu Khallad al-Zarqi bahwa ketika ia [Yaḥya] lahir, ia dibawa kepada Sang Nabi yang memberinya kurma yang telah dikunyah dan berkata: “Aku akan memberinya nama yang tidak pernah diberikan [kepada siapapun] sebelumnya: Yaḥya bin Zakariyya” dan ia pun memanggilnya Yaḥya.
Dari pembahasan di atas, kita lihat bahwa para ‘ulama memiliki dua pandangan terkait ayat lam najʿal lahu min qablu samiyya:
- Samiyy berarti shabihan atau mithlan, yakni yang sepadan dengannya. Ayat ini diartikan bahwa kelahiran Nabi Yahya ‘alayhis-salaam tidak seperti kelahiran yang lain, yang mana ia terlahir dari ayah yang uzur dan ibu yang mandul.
- Tidak seorang pun sebelum kelahiran Nabi Yahya ‘alayhis-salaam pernah diberi nama demikian oleh Allah.
At-Ṭabari menyajikan hadits untuk kedua penafsiran tersebut, namun berpendapat bahwa penafsiran yang kedua lebih tepat. Al-Qurtubi menyebutkan kedua pendapat tersebut, namun tidak cenderung pada salah satunya. Dan Ibnu Katsir, yang mengutip pendapat At-Tabari, juga tidak cenderung pada yang manapun.
7. Kesimpulan
Geiger dan para misionaris Kristen telah menunjuk kepada suatu kerumitan yang muncul pada ayat ke-17 dalam surah ke-19 di mana kelahiran Yaḥya disebutkan. Menurut pemahaman mereka, nama Yaḥya adalah padanan dalam bahasa Arab untuk nama John. Mereka juga memahami bahwa nama Yaḥya unik, dan tiada seorang pun sebelum kelahiran Nabi Yaḥya ‘alayhis-salaam pernah memiliki nama tersebut. Akan tetapi, dalam Perjanjian Lama ada lebih dari dua-puluh-lima rujukan pada nama John, dan untuk alasan inilah Al-Qur’an dianggap salah. Tulisan ini telah menunjukkan secara menyeluruh bahwa nama Yaḥya dan John (Yuḥanan atau Yuḥanna) adalah dua nama yang sama sekali berbeda dan berasal dari dua akar bahasa yang berbeda.
Geiger dan para Misionaris gagal memahami bahasa asli dari dua nama tsb dan karenanya salah kaprah dalam menyimpulkan bahwa Al-Quran salah.
- Samiyy, berarti shabihan atau mithlan, contohnya; seseorang seperti dia. Terjemahan ayat ini adalah menjelaskan bahwa proses kelahiran Yahya tidak sama dengan anak-anak lainnya karena ia lahir dari ayah yang sudah uzur dan dari ibu yang mandul.
- Nama Yahya unik, dan tidak ada seorang pun sebelum kelahirannya yang pernah diberi nama Yahya oleh Allah. Ini yang tampak jleas luput dari perhatian para misionaris.
Apakah Yaḥya juga disebut Yowchanan [atau Yuḥanna]? Tampaknya begitu, dan hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Melalui Mandaeanlah kita mendapatkan nama ganda Yahia Yuhana. Menurut literatur Mandaic, Yahia adalah nama malwasha atau nama asli dan Yuhana adalah nama laqab atau awam. Al-Qur'an hanya menggunakan nama sebenarnya dan nama rohani, yaitu Yaḥya; Yuḥanna dinyatakan sebagai parafrasa dalam ayat 19:13 mungkin karena fakta bahwa "Yu" dalam bahasa Arab tidak berarti Tuhan, maka membuat kata "Yuḥanna" secara etimologis tidak memiliki arti apa-apa. Agaknya, "Yuḥanna" dipinjam ke dalam bahasa Arab melalui sumber-sumber Ibrani atau Siria. Yang menarik, Encyclopaedia Judaica di bawah entri 'Yohanes Pembaptis' [37] hanya menyebutkan nama Arab: Yaḥya ibn Zakariyya. Tidak seperti entri untuk Musa, Yesus, dll, tidak ada catatan apapun tentang nama ini.
Penggunaan nama Yahia Yuhana di antara orang-orang Mandaean tentu menarik. Perlu juga dicatat bahwa banyak literatur mereka yang mencatat memang ada mantera Mandaean yang berasal dari masa pra-Islam. [38] Penelitian dan temuan temuan lebih lanjut tentunya akan memberi lebih banyak informasi tentang asal mula sastra Mandaic, insya allah.
Sekali lagi misionaris Kristen gagal menunjukkan kontradiksi “historis” dalam Al-Qur'an. Seandainya mereka mau menyelidiki kontroversi ini, bahkan sedikit saja, maka mereka tidak akan pernah membuat blunder seperti itu. Tetapi sebagaimana kita ketahui, ada preferensi di antara para misionaris Kristen untuk secara buta mengikuti setiap polemik murahan, dan karena perdebatan tentang asumsi "kontradiksi" ini tidak sampai berlarut-larut, maka kita tidak akan terganggu olehnya.
CATATAN:
Lebih lengkap, silahkan pelajari di sini
Dan seperti biasa, Maha Benar Allah Dengan segala Firman-Nya
No comments :