Pertanyaan
Mengapa Tuhan tidak menjaga sabda-sabda seorang nabi yang diutus sehingga Dia harus mengutus nabi yang lain untuk menyempurnakan syariat?
Jawaban Ringkas
Salah satu manifestasi kemurahan (lutfh) Allah Swt atas para hamba-Nya adalah tidak satu pun umat pada setiap masa tanpa seorang pembimbing dan pemberi petunjuk. Pengutusan para nabi ini tidak pernah terputus dan sekali-kali bumi tidak pernah kosong dari para hujjah (nabi dan imam) Tuhan.
Adapun bilangan agama-agama dan semakin sempurnanya agama-agama selepasnya adalah disebabkan semakin maju dan menyempurnanya pikiran manusia sepanjang perjalanan sejarah umat manusia. Dengan kata lain, lantaran kapasitas wujud manusia (pada masa itu) tidak mampu menerima seluruh aturan dan petunjuk sebuah agama sempurna sehingga semenjak permulaan agama paling sempurna (Islam) tidak diturunkan kepada mereka. Hal ini merupakan sebuah keharusan dan tuntutan (hikmah Ilahi) sehingga secara perlahan para nabi dan rasul diutus untuk menjelaskan pelbagai aturan dan petunjuk baru, seiring dengan berkembangnya kemampuan pikiran manusia maka kapasitas penerimaan agama yang sempurna juga dimilikinya.
Dengan sampainya berita gembira pada masa Nabi Saw dan kesempurnaan nisbi umat manusia pada masa itu, Allah Swt menurunkan agama paling sempurna dan all-inclusive (serba meliputi), Islam, kepada mereka. Dimana tugas untuk menjaga, menjelaskan dan menafsirkan agama tersebut diletakkan di pundak para Maksum As. Bagaimanapun, selalu tersedia ruang untuk menjaga dan memelihara agama ini di antara masyarakat melalui sebagian orang (nabi dan imam) yang memiliki kemampuan untuk sampai pada substansi dan mutiara agama kemudian mempersembahkan keduanya kepada masyarakat.
Dengan penjelasan ini, menjadi terang bahwa, Pertama, permasalahan distrosi dan penyimpangan agama-agama sebelumnya merupakan salah satu dalil adanya pembaruan pengutusan para nabi bukan merupakan seluruh dalil. Kedua, menjaga agama dari penyimpangan juga tidak dapat dinilai tanpa menghubungkannya dengan kemampuan manusia.
Jawaban Detil
Salah satu manifestasi kemurahan (lutfh) Allah Swt atas para hamba-Nya adalah bahwa tidak satu pun umat pada setiap masa yang menjalani hidupnya tanpa seorang pembimbing dan pemberi petunjuk. Lantaran manusia adalah seorang pengelana, yang telah mengarungi beberapa alam dan sedang bersiap-siap untuk melakukan perjalanan menuju alam-alam berikutnya. Dan ketika melalui alam ini ia tidak mampu berjalan dan mengarungi samudera kehidupan tanpa bimbingan Ilahi, darimana ia datang, bagaimana dan kemana ia harus melangkah. Hal ini semua menegaskan kebutuhan manusia terhadap seseorang yang disampaikan wahyu kepadanya. Untuk menjawab kebutuhan ini Allah Swt berfirman: "Wa laqad ba'atsnâ fî kulli ummatin rasûlan" (Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul bagi setiap kaum, Qs. Al-Nahl [16]:36); "Wa in min ummatin illa khala fiha nadzir" (Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan, Qs. Al-Fathir [35]:24); "Tsumma arsalnâ rusuluna tatrâ." (Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) para rasul Kami berturut-turut , Qs. Al-Mukminun [23]:44) . " Kesemua ini diadakan guna memberi petunjuk dan membimbing manusia. [1]
Berdasarkan ayat-ayat Ilahi, riwayat para maksum dan argumen-argumen rasional yang menegaskan bahwa bumi sekali-kali tidak akan pernah dibiarkan tanpa hujjah (para nabi atau imam), penjaga dan penyampai agama Ilahi. "Orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan)bahwa mereka (tidak akan meninggalkan (agama mereka) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata." (Qs. Al-Bayyinah [98]:1) Pada hakikatnya, ayat ini menyinggung kaidah lutfh yang dibahas dalam ilmu Kalam, bahwa Allah Swt akan menurunkan dalil-dalil nyata pada setiap kaum dan umat untuk menyempurnakan bukti dan hujjah bagi mereka. [2] Kendati agama-agama Ilahi tidak berada pada level dan tingkatan yang sama dari sudut pandang kesempurnaan, namun kandungan dakwah dan seruan utama seluruh nabi Allah As (meski berbeda ruang, waktu, dan situasi sosial) adalah satu. Seluruh nabi Allah menyeru dan mengajak manusia untuk hanya menyembah Allah dan menjauhi thagut. "Wa laqad ba'atsnâ fii kulli Ummatin Rasâlan ani'budulâh wajtanibu Thâgut." Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu ” (Qs. Al-Nahl [16]:36) . Mengapa Demikian? Karena selama fondasi Tauhid belum kokoh dan thagut tidak jauhi oleh manusia maka tidak satu pun program perbaikan (islah) yang diusung para nabi ini dapat terlaksana dengan baik. [3]
Lalu mengapa Tuhan tidak menurunkan agama secara sempurna sejak semula dan menjaga agama tersebut melalui para nabinya melainkan menurunkan banyak agama kepada manusia? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa sebagaimana ayah dan ibu dalam proses pendidikan dan tarbiyah anak-anak kecil mereka tidak menekankan seluruh masalah moral dan aturan-aturan pendidikan kepada mereka dan keduanya tidak terlalu berharap bahwa anak-anaknya menjalankan seluruh aturan yang disampaikan kepada mereka, melainkan setahap demi setahap, secara perlahan kedua orang tua menyampaikan segala aturan dan taklif kepada mereka. Dan pada setiap tahapan, kedua orang tua menyampaikan pesan-pesan pendidikan dan tarbiyah sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, hingga anak-anak mereka mencapai usia baligh dan akal mereka mencapai kematangan dan kedewasaan. Ketika usia dan akal mereka telah matang, maka pada masa-masa inilah seluruh aturan dan masalah moral disampaikan kepada mereka dan mereka dituntut untuk menjalankan seluruh aturan dan masalah moral tersebut. [4]
Ketika hal ini dikaitkan dengan manusia maka kita jumpai demikian adanya. Artinya syarat-syarat untuk menurunkan agama sempurna semenjak permulaan pengutusan para nabi (masa kenabian Nabi Adam As) itu tidak tersedia dan mustahil. Karena manusia memiliki beberapa ragam periode pikiran dan semakin berkembang dan matang pikirannya, dari satu sisi, maka kebutuhan pikirannya dan psikologisnya juga semakin bertambah dan semakin pelik. Dari sisi lain, manusia telah memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menerima dan mengamalkan aturan dan juklak yang lebih tinggi dan lebih sulit. Kalau tidak demikian, manusia tidak memiliki kemampuan dan potensi semacam ini semenjak permulaan.
Atas dasar ini, semenjak permulaan syariat-syariat yang diturunkan kepadanya berisi ma'ârif (plural dari makrifat) dan hukum-hukum yang lebih ringan dan mudah dipahami sehingga pada tingkatan dan tahapan selanjutnya ia telah siap untuk menerima ma'ârif Islam.
Oleh itu, Nabi Adam As sebagai nabi pertama menunjukkan aturan-aturan kepada masyarakatnya berdasarkan kapasitas mereka sebagai manusia generasi pertama. Pada masa-masa selanjutnya dan zaman nabi selepasnya, seiring dengan perkembangan dan kematangan manusia berikut semakin luasnya kapasitas wujudnya, maka aturan-aturan yang lebih sempurna disampaikan kepada mereka dimana dengan perbuatan ini agama sebelumnya juga menjadi sempurna hingga pada masa Rasulullah Muhammad Saw agama paling sempurna dan pamungkas dipersembahkan kepada manusia dan setelahnya tidak akan ada lagi agama yang akan diturunkan.
Meski seluruh nabi Allah menyeru dan mengajak manusia kepada Tuhan Yang Esa, akan tetapi syariat suatu agama berlaku hingga datangnya syariat baru yang dibawa oleh seorang nabi baru yang telah diwartakan pada agama sebelumnya. Setelah datangnya agama baru dari sisi Tuhan dan pengutusan nabi baru disertai mukjizat dan tanda-tanda, seluruh pengikut agama-agama sebelumnya harus mengikut agama yang baru diturunkan kepada mereka.
Karena itu, seiring dengan datangnya Islam maka seluruh agama sebelumnya teranulir (mansukh) dan para pengikutnya berkewajiban untuk menjalankan seluruh aturan Islam sebagai agama paling pamungkas dan paling sempurna di antara agama-agama Ilahi.
Dengan penjelasan ini menjadi terang bahwa pertama, masalah pelurusan distorsi agama-agama sebelumnya merupakan salah satu dalil pengutusan nabi-nabi baru, bukan seluruh dalil. Kedua, setelah turunnya agama sempurna dan siapnya orang-orang dengan kemampuan untuk menerima pelbagai hakikat, maka tersedia ruang untuk menjaga dan memelihara agama ini di antara masyarakat melalui sebagian orang yang memiliki kemampuan untuk sampai pada substansi dan mutiara agama kemudian mempersembahkan keduanya kepada masyarakat.[]
Untuk telaah lebih jauh silahkan Anda merujuk pada beberapa item di bawah ini:
1. Indeks: Dalil-dalil Kebenaran Islam, pertanyaan No. 6862(Site: 6941)
2. Indeks: Kebenaran Syiah, pertanyaan No. 1523 (Site: 2011)
3. Mahdi Hadawi Tehrani, Mabâni-ye Kalâm Ijtihâd, hal. 61 dan seterusnya.
4. Mahdi Hadawi Tehrani, Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ, Sirr Khatamiyat, hal. 33.
[1] . Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 245.
[2] . Silahkan lihat, Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu'i Qur'an, jil. 6, Sirah Payambarân dar ur'ân. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 202
[3] . Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 221.
[4] . Silahkan lihat, Syahid Muthahhari, Islâm wa Muqtadhiyât-e Zamân, jil. 1, hal. 563.
No comments :