Al-Quran, kamera kehidupan yang memotret muamalah Rasulullah Saw dengan orang-orang nasrani. Di sana banyak sesi tayangan yang memperlihatkan sikap Rasulullah Saw dan Al-Quran terhadap mereka.
Di antara sesi itu, sikap Al-Quran yang menolak keras pengembalian syariat Islam ke sumber-sumber nasrani. Yang demikian itu karena Rasulullah Saw diberitakan pernah menimba ilmu dari mereka, di antaranya: Jabr dan Yaish, keduanya hamba bani al-Hudrami, Yasar, Bal’âm, dan Ābis.([1])
Yang disepakati bukan Rasulullah Saw yang menimba ilmu, tetapi merekalah yang duduk di bangku bimbingan dan tuntunan Rasulullah Saw di beberapa kesempatan. Namun, orang-orang kafir memutar balik fakta yang jauh dari kebenaran.
Pertemuan Rasulullah Saw dengan mereka sekali dua kali itulah dijadikan batu loncatan untuk melancarkan tudingan tersebut. Hakikatnya, yang demikian itu bukan batu loncatan, tetapi lumpur berpasir yang menyeret mereka sendiri ke dalam bantahan Al-Quran yang memperlihatkan kepicikan akal mereka yang lahir dari prasangka buta.
Di samping itu, seandainya Al-Quran memuat sepatah kata pun dari mereka yang disisipkan Rasulullah Saw, tentunya yang memeluk Islam dari ahli kitab mengetahui sisipan itu dan enggan menerima Al-Quran. Tetapi, semuanya mengagungkannya dengan penuh keyakinan.
Kemudian, Al-Quran itu sendiri berbahasa Arab, sementara yang diklaim sebagai sumber rujukan Rasulullah Saw tidak bernuansa Arab atau bukan dari orang-orang Arab. Jika karya-karya sastra yang diracik oleh talenta lidah para ahli sastra mereka tidak mampu menandingi ketinggian dan keanggunan bahasa Al-Quran, bagaimana mungkin mereka dengan berani menuduh Rasulullah Saw duduk belajar di bangku pendidikan mereka dan menyisipkan ilmu yang dipelajari ke dalam Al-Quran?
Jika Al-Quran mukjizat maknawi Rasulullah Saw yang senantiasa hidup mewarnai kehidupan umat qur’ani ini dengan hikmah dan tuntunan hidup sepanjang waktu diyakini Rasulullah Saw sebagai sumber kekekalan Islam dan kemuliaan dirinya yang memamerkan aneka ragam sifat-sifat maknawi dan akhlaknya yang menjadi teladan utama umat dengan penuh pesona yang memukau, bagaimana mungkin Rasulullah Saw mengotorinya dengan sisipan-sisipan manusia yang merusak keindahan estetika dan struktur sistematika Al-Quran itu sendiri?
Rasulullah Saw tidak pernah mengaku, meski itu satu pengakuan, sebagai pemilik atau penyusun syariat ini. Yang demikian itu karena Rasulullah Saw tahu tugas dan misinya yang hanya terbatas selaku penyampai wahyu Allah SWT semata dengan penuh amanah, seperti yang ditegaskan Q.S. Fathir (35): 23, Q.S. As-Syura’ (42): 48, dan Q.S. Al-Ahqâf (46): 9.
Di lain sisi, Rasulullah Saw ummi (yang tidak pernah menyentuh proses belajar-mengajar yang mendiktekan baca-tulis seperti di bangku-bangku sekolah). Olehnya itu, mustahil terjadi sebuah transformasi ilmu pengetahuan begitu cepat yang kemudian didakwa sebagai sumber syariat Islam yang memenuhi ruang-ruang Al-Quran. Sungguh itu kebodohan mutlak jika ada dari mereka yang berani mendakwakan tuduhan seperti ini.
Sikap Al-Quran ini terhadap apa yang dituduhkan oleh orang-orang kafir di atas merupakan jawaban maknawi ayat-ayat Al-Quran yang membongkang tuduhan tersebut dari akarnya, seperti kilau maknawi Q. S. An-Nahl (16): 103:
(وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ ۗ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ)
Jika Anda telah meyakini kebenaran hakikat ini, maka tidak ada lagi artinya bagi Anda ocehan para orientalis, seperti Goldziher (June 22, 1850 – November 13, 1921) yang memoles dakwaan lama orang-orang kafir tersebut dan membumbuinya kalimat-kalimat mengecoh sehingga ia dikemas dan dipamerkan sebagai produk baru, padahal ia tidak lain kecuali kopian semata yang intinya tidak jauh beda dari aslinya. Ignác Goldziher yang diperdaya sendiri oleh keintelektualannya menegaskan agama Yahudi dan agama Masehi telah berperan aktif dalam penyusunan kerangka syariat Islam.([2]) Karena pernyataan Goldziher isinya sama dengan dakwaan lama orang-orang kafir terhadap Al-Quran, Anda pun dengan mudah mematahkan pernyataan tersebut seperti yang tertera di atas dengan mengambil kekuatan cahaya maknawi Q.S. An-Nahl (16): 103.
Sesi berikutnya, pita Al-Quran menayangkan simpati Rasulullah Saw dan mukminin terhadap kekalahan orang-orang nasrani Romawi menghadapi dinasti Sasania dari bangsa Persia pada tahun 614 M. Kepedulian mereka terhadap sesama, mukminin dan orang-orang nasrani yang meyakini ketuhanan Allah SWT, disambut baik Al-Quran dengan turunnya Surah Ar-Rum yang memberi kabar gembira terhadap kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia 9 tahun kemudian. Sambutan ini menjadi pelipur lara terhadap kesedihan orang-orang beriman yang menginginkan kemenangan bangsa Romawi yang mengenal ketuhanan dari bangsa Persia yang mengabaikan ketauhidan dan lebih memilih menyembah api.
Kesedihan itu tidak dibiarkan Al-Quran berkepanjangan menyelimuti semangat dakwah dan jihad umat, khususnya setelah kota Konstantinopel ditaklukkan oleh mereka yang dihiasi dengan pembangunan rumah ibadah api sebagai sembahan mereka.
Sesi ini seperti menayangkan percakapan maknawi dari hati Rasulullah Saw dan mukminin yang dirundung duka, tersayat mendengar kekalahan mereka. Simpati ini seperti doa tersendiri terhadap mereka yang mengisyaratkan bahwa yang diridhai memakmurkan bumi dengan nilai-nilai peradaban yang islami adalah ahli tauhid yang mengenal hakikat ketuhanan. Tayangan ini dengan indah dan apik diberitakan Q.S. Ar-Rum (): 1-4.([3])
آلم @غُلِبَتِ الرُّومُ @ فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ @ فِي بِضْعِ سِنِينَ ۗ
Di lain sisi, orang-orang nasrani di lensa Al-Quran dipotret sebagai kaum yang lebih mudah tersentuh hatinya membenarkan Islam dari orang-orang Yahudi, khususnya ahli kitab mereka. Olehnya itu, Rasulullah Saw senantiasa menyambut baik kedatangan mereka menanyakan masalah-masalah agama. Buku-buku sirah dan hadits meriwayatkan kedatangan 20 orang-orang nasrani Mekah dan sekitarnya setelah mendengar beritanya di Habsyah. Mereka menanyakan hakikat agama Islam dan beberapa masalah yang terkait dengan apa yang mereka yakini selama ini. Setelah mendengarkan jawaban dan penjelasan Rasulullah Saw, mereka pun diajak memeluk Islam dan diperdengarkan Al-Quran. Genangan air mata mengucuri kulit wajah mereka sebagai pertanda pintu hati mereka telah terbuka menerima Islam yang diketuk dengan nada dan makna kebenaran ayat-ayat Al-Quran yang diperdengarkan. Kisah mengharukan ini dipotret indah Q.S Al-Qasash (28): 52-55 dan Q.S. Al-Maidah (5): 82-83 yang mengajak kita melihat kisah tersebut seperti tayangan hidup (live stream) yang menyuguhkan pesan-pesan kehidupan.
(الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ@ وَإِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ قَالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ @ أُولَٰئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ @ وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ).
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ@ وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَىٰ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ ۖ يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ
Kenyataan ini benar-benar terbukti di lapangan. Prof. Dr. Ahmad Āq Kunduz di salah satu jumpa silaturahimnya dengan mahasiswa Al Azhar yang ikut berkecimpung di Thalabah Nur (yang membaca dan mengaji karya-karya Bediuzzaman Said Nursi) menyampaikan kisah yang menyentuh hati. Seorang guru besar di salah satu universitas Eropa memeluk Islam dan menafsirkan injil dengan nilai-nilai Al-Quran, meski ia terpaksa menyembunyikan keislamannya dan menegakkan shalat dengan diam-diam dan sembunyi. Alhamdulillah yang memperlihatkan kebenaran makna ayat-ayat di atas di dunia nyata sebagai bukti kebenaran agama ini.
Sesi terakhir Al-Quran yang sempat tersentuh tangan penulis, ayat mubahalah (saling melaknat antara dua orang atau kelompok dalam sebuah masalah yang diperdebatkan atau disengketakan. Yang terbukti salah oleh keadilan Allah SWT akan dilaknat) yang memotret Rasulullah Saw dan delegasi orang-orang nasrani Nejeran yang berjumlah 60 orang, di antaranya: Abdul Masih, pemimpin kaum mereka yang dituakan, dan al-Aeham, salah seorang yang dipertuangkan dalam masyarakat, dan Abu Haritshah bin Alqama, pendeta dan alim mereka.
Mereka enggan memeluk Islam setelah diajak Rasulullah Saw sehingga akhirnya terjadi debat sengit di antara mereka yang berujung mubahalah. Tantangan kenabian ini menghendaki mereka meminta tempo untuk bermusyawarah. Mereka meminta fatwa Abdul Masih dalam menyikapi tantangan tersebut, ia pun menjawab:
“Demi Allah, wahai orang-orang nasrani. Sesungguhnya kamu sekalian mengetahui bahwa Muhammad itu seorang nabi dan rasul Allah. Ia datang dengan berita pasti tentang nabi kalian, Isa AS. Tidak ada kaum yang melaknat nabi mereka, kecuali musnah oleh musibah. Jika Anda sekalian tetap ingin hidup di jalan agama kalian, tinggalkanlah mubahalah ini dan bergegaslah kembali ke negeri kalian.”
Mereka pun sepakat mengurungkan niat memasuki arena mubahalah ini. Rasulullah Saw menerima pengunduran tersebut dengan mewajibkan mereka membayar tebusan 2000 pakaian, alat persenjataan, seperti: perisai, tombak, dan kuda perang dan mengizinkan mereka menjalankan agama yang mereka yakini kebenarannya dengan jaminan keselamatan dari Rasulullah Saw terhadap harta dan jiwa mereka. Tidak lama setelah mereka tiba di Nejeran, Abdul Masih dan al-Aeham kembali menghadap Rasulullah Saw dan memperdengarkan ikrar keislaman mereka berdua.
Sesi ini dipotret langsung Q.S. Ali Imran (3): 61 seperti tayangan hidup yang menggambarkan kegigihan Rasulullah Saw dalam memenangkan kebenaran agama ini. Kegigihannya ditandai dengan keberanian melibatkan keluarganya dalam mubahalah tersebut.
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Setelah Anda mengikuti potret Al-Quran yang menayangkan pelbagai sesi interaksi Rasulullah Saw dan orang-orang nasrani, Anda pun diajak untuk menjawab pertanyaan ini: ‘‘kenapa Al-Quran tidak dijumpai menayangkan usaha orang-orang nasrani untuk menghabisi Rasulullah Saw, seperti orang-orang Yahudi yang ditemukan beberapa kali ingin menghilangkan jejaknya, seperti yang dimuat Q.S. Al-Maidah (5): 11?’’
Jawabnya: ‘’gambaran umum, orang-orang nasrani senantiasa ditimpa kemalangan dan penindasan seperti layaknya kaum minoritas. Olehnya itu, mereka tidak mampu membentuk sebuah gerakan mobilisasi untuk menghabisi Rasulullah Saw. Meskipun demikian, sengketa di antara mereka dalam pelbagai bentuk tidak dapat dihindari, seperti Abu Amir, seorang pendeta yang berhasil meyakinkan sebagian pemuda Aush untuk mengikuti agamanya dan keluar bersama dengannya memusuhi Rasulullah Saw. Namun, tipu daya mereka gagal, dan Abu Amir pun lari ke Syam meminta pertolongan dari bangsa Romawi.’’([4])
Di penghujung tulisan ini, saya mengajak pemerhati muamalah Rasulullah Saw dengan ahli kitab untuk menyuarakan hakikat berikut:
“Al-Quran kamera kehidupan yang memotret sisi-sisi muamalah Rasulullah Saw dengan ahli kitab yang menayangkan sikap Al-Quran sendiri dan Rasulullah Saw terhadap mereka. Di tulisan ini, Rasulullah Saw dengan gigih dan keterbukaannya yang santun memperjuangkan Islam dan mengajak mereka mengenal dan memeluknya dengan penuh keyakinan. Rasulullah Saw dengan berani menghadapi setiap gerakan mobilisasi mereka yang ingin menurunkan kibaran bendera Islam untuk diinjak-injak, seperti barang hina yang tidak punya nilai, dan memadamkan cahaya Islam yang begitu kuat menyoroti relung-relung hati mereka yang mendambakan hakikat ketauhidan yang benar. Alhamdulillahi Taala yang telah memenangkan Islam.”
[Dari: Dr. Muhammad Widus Sempo, MA. | Dakwatuna]
Catatan Kaki:
[1] Tafsir al-Qurtubi, vol. 5, hlm. 524
[2] Ignac Goldziher, diarabkan oleh Muhammad Yusuf Musa, al-Aqîdah wa as-Syarîah fil Islam, hlm. 5
[3] Syekh Hasan Khalid (mufti Lebanon), Mawqif an-Nabi Saw min ad-Diyânât at-Tsalâts: al-Watsaniyyah, wa al-Yahudiyyah, wa an-Nasrâniah, hlm. 107
[4] Lihat: Tabaqât Ibn Saad, vol. 2, hlm. 119-120, dan Syekh Hasan Khalid (mufti Lebanon), Op. Cit, hlm. 116
No comments :