Muhammad SAW adalah mutiara yang sangat indah bagi alam semesta ini. Beliau hadir di tengah-tengah umat manusia atas rahmat Allah SWT. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah umat Islam memuliakan kedudukan beliau di sisi Allah dan para malaikat di seluruh lapisan langit. Beliau adalah insan yang lahir dari tengah-tengah kita, tetapi beliau bukan insan biasa, melainkan insan yang menggenggam hakikat seluruh alam semesta.
Karena kedudukannya yang mulia di sisi Allah, di antara para malaikat dan orang-orang mukmin ini, Allah SWT berfirman,
اِنَّ اللّٰہَ وَ مَلٰٓئِکَتَہٗ یُصَلُّوۡنَ عَلَی النَّبِیِّ ؕ یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا صَلُّوۡا عَلَیۡہِ وَ سَلِّمُوۡا تَسۡلِیۡمًا"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS Al-Ahzâb [33]: 56).
Untuk memahami ayat ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Shalawat jika dinisbatkan kepada Allah berarti pemberian rahmat dan kehidhaan-Nya kepada Nabi SAW. Jika dinisbatkan kepada malaikat berarti doa dan permohonan ampunan baginya; dan jika dinisbatkan kepada umat Muslimin berarti doa dan pengagungan kepadanya. [Al-Bashâ'ir, jilid 32. hal. 237].
Frase "yushallûna" adalah kata kerja dalam bahasa Arab dalam bentuk mudhâri‘ yang menunjukkan pekerjaan yang akan dan sedang berlangsung. Ini artinya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepadanya secara terus-menerus dengan shalawat yang kekal dan abadi.
Para mufasir berbeda pendapat dalam menjabarkan perbedaan antara shallû dan sallimû. Namun, ditinjau dari segi bahasa dan dilihat dari lahiriah ayat Al-Quran tersebut, shallû bisa berarti perintah untuk memohon rahmat dan shalawat untuk Nabi SAW, sedangkan sallimû berarti perintah agar patuh dan taat (taslîm) pada perintah-perintah Nabi SAW, seperti yang terdapat dalam surah An-Nisâ’ ayat 65: "kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."
Selain itu, kita temukan dalam riwayat dari Ja‘far ash-Shâdiq as., bahwa Abu Bashir bertanya kepadanya, “Saya sudah tahu shalawat kami kepada Nabi SAW, tetapi apa yang dimaksud dengan taslîm?” Beliau menjawab, “Yaitu kepatuhan kepadanya dalam segala perintah.” Atau, bisa juga taslîm itu artinya salam kepada Nabi SAW. Dengan membaca atau mengucapkan "Assalâmu ‘alaika yâ rasûlallâh" (salam sejahtera bagimu, wahai Rasulullah), dan sebagainya, berarti memohon kepada Allah SWT untuk kesejahteraan bagi Nabi SAW.
Abu Hamzah al-Tsumali meriwayatkan dari Ka‘ab (seorang sahabat Nabi SAW): Ketika ayat ini turun, kami berkata (kepada Nabi Saw), “Kami sudah tahu bagaimana bersalam kepadamu, tetapi bagaimana kami bershalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah Allâhumma shalli ‘alâ muhammad wa âli muhammad kamâ shallaita ‘alâ ibrâhîm wa âli ibrâhîm innaka hamîdum-majîd, wa bârik ‘alâ muhammad wa âli muhammad ka mâ bârakta ‘alâ ibrâhîm wa âli ibrâhîm innaka hamîdum-majîd (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia; dan anugerahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah menganugerahkan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia).”
Bertolak dari hadis ini, menjadi jelas tentang bagaimana bershalawat kepada Nabi SAW, dan demikian pula makna salam. Walau demikian, dua makna salam ini benar-benar tampak berbeda, kecuali jika kita mengembalikan kedua makna itu ke satu hal, yaitu taslîm kepada Nabi SAW dalam ucapan dan tindakan, karena orang yang bersalam kepadanya dan berharap kepada Allah atas keselamatannya akan selalu merindukan beliau dan mengenali beliau sebagai seorang Nabi yang ketaatan kepadanya merupakan sebuah tuntutan dan keharusan.
Termasuk yang perlu diperhatikan adalah, bahwa banyak hadits yang menyebutkan tatacara bershalawat kepada Nabi SAW menyertakan juga shalawat kepada keluarga Muhammad. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa‘i, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan lain-lain—seperti dikutip dalam al-Durr al-Mantsûr—dari Ka‘ab bin ‘Ujrah, bahwa seseorang datang kepada Nabi SAW dan bertanya, “Bersalam kepadamu, kami sudah tahu. Tetapi bagaimana bershalawat kepadamu?” Nabi Saw. menjawab, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia; dan anugerahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah menganugerahkan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia.’”
Dalam tafsir al-Durr al-Mantsûr juga dikutip hadits-hadits lain yang semuanya menjelaskan kewajiban menyertakan keluarga Muhammad SAW ketika bershalawat kepada beliau. Hadits-hadits yang menjelaskan hal ini juga terdapat dalam kitab-kitab hadits lain yang diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi Saw., seperti Ibn ‘Abbas, Thalhah, Abu Sa‘id al-Khudri, Abu Hurairah, Abu Mas‘ud al-Anshari, Buraidah, Ibn Mas‘ud, dan Ka‘ab bin ‘Ujrah.
Lebih jauh, ayat di atas berbicara tentang keagungan Rasulullah SAW dan hukum-hukum yang menjadikan beliau istimewa. Allah menyeru kaum Mukmin agar bershalawat kepadanya dan memberikan penghormatan untuk meneladaninya. Penanggulangan lingkungan sosial tidak akan menjadi sempurna kecuali melalui shalawat kepada Rasulullah SAW dan kepatuhan kepadanya.
Lalu, apa makna shalawat kepada Nabi SAW?
Barangkali, asal makna shalawat adalah bersimpati (ta‘aththuf) dan berbelas kasih (tara’’uf). Adapun shalawat kepada Nabi SAW adalah doa agar Allah menyayanginya dan mengantarkannya ke kedudukan terpuji seperti yang telah Dia janjikan. [Min Hudâ al-Qur'ân, jil. 10, hal. 380]
Belas kasih Allah kepada manusia adalah dengan memberinya hidayah dan kenikmatan. Shalawat-Nya kepada Nabi SAW adalah Dia mengabulkan doa-doa untuknya dan atau melalui perantaraannya. Shalawat malaikat kepada Rasulullah SAW berarti doa untuknya di sisi Tuhan mereka dan pertolongan kepada para pengikutnya. Adapun shalawat kaum Mukmin yang diwajibkan oleh Allah dalam shalat dan disunnahkan dalam segala waktu berarti mendoakannya dan mendekat ke maqamnya yang mulia.
Dalam hal ini, terdapat banyak hikmah yang diperoleh umat Islam, dan hikmah yang paling utama di antaranya adalah:
Perbaikan akidah Muslim
Pada saat seorang Muslim harus mengagungkan Nabinya, ia tidak boleh melakukan tindakan yang berlebihan sehingga menodai agama, tentu saja.
Memuliakan Nabi SAW melalui doa kepada Allah SWT
Dimaksudkan agar hubungannya dengan Tuhannya tidak terputus. Dengan mengesakan Allah dan cinta yang besar kepada-Nya, seorang Muslim memuliakan dan mencintai Rasulullah Saw. Pada saat yang sama, hubungannya dengan Rasulullah SAW dan wasilahnya untuk mendekat kepada Allah tetap terjaga. Tanpa penghormatan atau kepatuhan kepadanya dan kepada orang-orang yang telah diperintahkan oleh Rasulullah SAW agar diikuti, dan tanpa kecintaan kepada Rasulullah SAW dan orang-orang yang diperintahkan oleh beliau untuk dicintai tidak mungkin seorang Muslim bisa mendekat kepada Tuhannya.
Demikianlah, kalimat shalawat kepada Rasulullah SAW dan keluarganya membingkai akidah Islam, dan itu berarti bertambahnya kedekatan diri kepada Allah tetapi bersama Rasulullah SAW dan bertambahnya cinta kepada Rasulullah SAW tetapi atas nama Allah SWT.
Hal itu merupakan kewajiban setiap Muslim terhadap Rasulullah SAW yang telah berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan umat manusia dan memikul amanah dan penderitaan untuk menyampaikan hidayah Allah SWT kepada umat manusia. Bahkan Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tak pernah ada seorang nabi pun yang disakiti seperti yang kualami.” Maka, syukur yang paling utama yang kita persembahkan kepada Nabi SAW atas hidayah dan kebaikan yang kita raih, yang kita dapatkan berkat perjuangan beliau, adalah bershalawat kepadanya.
Manfaat dan kebaikan dari shalawat kita kepadanya akan kembali lagi kepada kita, sebagaimana doa kepada seorang Mukmin. Ja‘far ash-Shâdiq as. berkata, “Doa seorang Muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya dapat mendatangkan rezeki dan menghindarkan bencana, dan malaikat berkata kepadanya, ‘Kamu mendapatkan dua kali lipatnya.’”
Ketika kita berdoa kepada Allah untuk Rasulullah SAW agar Dia meninggikan derajatnya dalam aspek spiritual dan material, maka derajat kita pun sebagai pengikutnya akan terangkat. Dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa bershalawat kepadaku, Allah dan para malaikat bershalawat kepadanya. Oleh karena itu, siapa yang ingin membacanya sedikit, silakan, dan siapa yang ingin membacanya banyak, juga silakan.”
Rasulullah SAW adalah pemimpin kita di dunia dan akhirat. Setiap kali derajatnya terangkat dan maqamnya ditinggikan, maka derajat kaum Mukmin pun ikut menjadi tinggi dan terangkat karenanya. Ja‘far ash-Shâdiq as. berkata, “Seseorang datang kepada Nabi SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya persembahkan shalat saya untukmu. Oh tidak, bahkan separuh shalat saya untukmu. Oh tidak, bahkan seluruh shalat saya untukmu.’ Maka, Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika begitu, kepentingan dunia dan akhiratmu dicukupi.’”
Dalam sebuah hadis diriwayatkan pula bahwa pada suatu hari, Rasulullah SAW datang dan kabar gembira tampak pada wajah beliau, lalu bersabda, “Malaikat Jibril telah datang kepadaku. Ia berkata, ‘Tidakkah kamu ridha, wahai Muhammad, bahwa tak seorang pun dari umatmu yang bershalawat kepadamu satu kali melainkan aku bershalawat kepadanya sepuluh kali, dan tak seorang pun dari umatmu yang bersalam kepadamu satu kali melainkan aku bersalam kepadanya sepuluh kali.”
Bahkan di dunia ini, setiap kali derajat beliau terangkat maka terangkat pula derajat kaum Muslim seluruhnya.
Shalawat kepada Nabi SAW merupakan salah satu wasilah kemakbulan doa. Seorang hamba kadang-kadang berdoa kepada Tuhannya seribu kali, tetapi doanya tidak dikabulkan sebelum ia bershalawat kepada Nabi SAW di awal dan akhirnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Shalawat kalian kepadaku adalah kemakbulan doa-doa kalian dan zakat amal-amal kalian.”
Imam ‘Alî as. berkata, “Doa akan senantiasa terhalang sebelum disertai dengan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.”
Ja‘far ash-Shâdiq as berkata, “Barangsiapa memiliki hajat kepada Allah SWT, hendaklah ia memulai dengan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, lalu menyampaikan hajatnya, lalu menutupnya dengan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Sebab, Allah terlalu mulia untuk menerima dua tepi dan meninggalkan tengahnya, karena shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad tidak akan terhalang dari-Nya.”
Tujuan langsung shalawat ini adalah penghormatan kepada Rasulullah SAW, mengambil teladan darinya, dan menjadikannya pemimpin. Dengan shalawat pula, kaum Mukmin menunjukkan cinta mereka kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian, semakin sering dan semakin banyak mereka bershalawat kepada beliau, maka semakin tumbuh dan semain besar pula cinta mereka kepada beliau. Cinta inilah yang menjadi modal utama mereka dalam meneladani, menaati, dan mengikuti sunnah beliau. Hal itu ditegaskan Allamah al-Majlisi dalam bukunya Bihâr al-Anwâr, seperti berikut:
Betapa agung, hamba yang beriman menyambut seruan Tuhannya agar bershalawat kepada Nabi SAW sehingga ia bergabung dalam partai Allah tempat bergabung para malaikat yang didekatkan. Namun, tidak semua shalawat bisa menghasilkan penggabungan seperti ini, melainkan hanya shalawat yang diucapkan dengan lisannya seraya mengetahui batasan-batasannya dalam akalnya, memasrahkan diri padanya, dan menundukkan anggota-anggota badannya. Jika ia mendengar khathib (atau siapapun) berkata, “Bersabda Rasulullah SAW …” maka ia harus bershalawat kepadanya dengan lisannya, memahami shalawat itu dengan makrifatnya dan bersiap-siap untuk mengaplikasikannya dalam dirinya. Kemudian, ia beranjak untuk mengamalkan kandungannya dan segala tuntutannya.
Secara psikologis, jika seseorang mendoakan orang lain yang tidak hadir di hadapannya, maka ia akan mencintainya sekalipun sekiranya di antara mereka terdapat permusuhan. Hal itu karena, di satu sisi, doa dapat melunakkan hati si pendoa kepada pihak lain yang didoakan, dan di sisi lain, orang yang didoakan akan merasakan kecenderungan dan bahkan cinta kepada orang yang mendoakannya sekalipun bila si pendoa tidak melakukan apapun selain mendoakan, karena hati menyaksikannya. Maka hati dengan hati bertaut di alam gaib sebagaimana hati dengan hati bertaut di alam nyata.
Ketika kita bershalawat kepada Rasulullah SAW, maka cinta dan penghormatan kepadanya dalam hati kita menjadi semakin besar sehingga kita mengasihinya. Keadaan ini dapat memudahkan kita untuk taat kepadanya dan meneladaninya.
Dalam buku-buku psikologi, dijelaskan bahwa setelah beberapa kali dilakukan pengujian, terbukti bahwa cinta merupakan faktor yang paling utama dalam ketaatan. Seorang anak, misalnya, lebih patuh kepada ibunya karena cinta kepadanya, bukan karena takut kepadanya. Sebaliknya, ibu memberikan kasih sayang dan pengorbanan yang luar biasa kepada anaknya semata-mata karena mencintai buah hatinya. Itulah cinta!
Pepatah lama mengatakan, "Tak kenal maka tak sayang", dan umat Islam yang mengenal nabinya tentulah menyayangi dan mencintainya.
Wallahi 'alam bisawwab
[Dari Mas Irwan Kurniawan | Ikatan Alumni Jami'ah Al-Musthafa]
Daftar Pusataka
- Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Alî al-Thusi, Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Qum: Maktabah al-A‘lâm al-Islâmî, cet. 1, 1409 H.
- Aminuddin Abu ‘Alî al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabrisi, Majma‘ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, 1379 H.
- Mir Sayid ‘Alî al-Ha’iri al-Thihrani, Muqtaniyât al-Durar wa Mutaqithât al-Tsamar, Teheran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1337 HS.
- Sayid Muhammad Husain al-Thabathaba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Teheran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. 3, 1397 H.
- Syaikh Muhammad al-Sabziwari al-Najafi, Al-Jadîd fî Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Ta‘ârif li al-Mathbû‘ât, cet. 1, 1402 H.
- Muhammad Husain Fadhlullah, Min Wahy al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Zahrâ’ li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, cet. 2.
- Muhammad Jawad Mughniyyah, Tafsîr al-Kâsyif, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, cet. 3, 1981 M.
- Nashir Makarim al-Syirazi, Al-Amtsal fî Tafsîr Kitâbillâh al-Munzal, Beirut: Mu’assasah al-Bi‘tsah li al-Mathbû‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, cet. 1,1412H
- Sayid Muhammad Taqi al-Madrasi, Min Hudâ al-Qur’ân, Dâr al-Hudâ, cet. 1, 1406 H.
- ‘Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsûr, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. 1, 1993 M.
- Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr al-Jâmi‘ah li Durar Akhbâr al-A’immah al-Athhâr as, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, cet. 1, 1412 H.
- Ya'subuddin Rusghar Jauwaibari, Tafsîr Al-Bashâ'ir, Qum: Al-Mathba'ah Al-Islâmiyyah, 1399.
No comments :