Comments
Timelines
Contact
Social Media
Timeline Cover

Sunday, October 9, 2016

III. Trinitas, Dalam Perspektif Teologis Sunday, October 9, 2016



Teologi

Rumusan pembaptisan Trinitaris
Dalam Injil sinoptik, pembaptisan Yesus sering kali diinterpretasikan sebagai salah satu manifestasi dari ketiga pribadi Trinitas: "Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari surga yang mengatakan: 'Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.'"Mat. 3:16–17 Baptisan umumnya diberikan dengan rumusan Trinitaris, "dalam nama Bapa dan (Putra) dan Roh Kudus".Mat. 28:19 Kalangan Trinitaris mengidentifikasi nama ini dengan iman Kristen yang melaluinya baptisan merupakan inisiasi, sebagaimana contohnya diperlihatkan dalam pernyataan Basilius Agung (330–379): "Kita wajib untuk dibaptis dalam kata-kata yang telah kita terima, dan untuk mengakukan iman dalam kata-kata yang di dalamnya kita telah dibaptis." Konsili Konstantinopel I (381) juga menyampaikan, "Inilah Iman baptisan kita yang mengajarkan kita untuk percaya dalam Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Menurut Iman ini terdapat satu Ketuhanan, Kuasa, dan Hakikat dari Bapa, dari Putra, dan dari Roh Kudus." Matius 28:19 dapat digunakan untuk mengindikasikan bahwa pembaptisan dikaitkan dengan formula ini sejak dekade paling awal keberadaan Gereja.

Kelompok-kelompok nontrinitaris, misalnya Pentakostal Keesaan, menolak pandangan kalangan Trinitaris tentang baptisan. Bagi mereka, rumusan dalam Kitab Kisah Para Rasul mendefinisikan dan menegaskan bahwa semua pertimbangan, yang serupa, lainnya harus digunakan dalam nama Yesus Kristus. Untuk alasan ini, mereka sering kali berfokus pada pembaptisan dalam Kisah Para Rasul. Mereka yang memberikan penekanan besar pada pembaptisan dalam Kisah Para Rasul sering juga mempertanyakan autentisitas Matius 28:19 dalam bentuknya yang sekarang. Kebanyakan akademisi kritik teks Perjanjian Baru menerima autentisitas bagian tersebut, karena tidak ditemukan manuskrip varian mengenai rumusan tersebut, dan bentuk yang sekarang dari bagian itu ditegaskan dalam Didache dan karya-karya patristik lainnya dari abad ke-1 dan ke-2: Ignatius, Tertullianus, Hippolitus, Siprianus, dan Gregorius Thaumaturgus.

Mengenai Matius 28:19, Gerhard Kittel menyatakan:
Hubungan rangkap tiga (dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus) ini segera menemukan ekspresi tetap dalam formula triadik (sic) di 2 Kor. 13:14 dan di 1 Kor. 12:4–6. Bentuk tersebut pertama-tama ditemukan dalam formula pembaptisan di Matius 28:19; Did., 7. 1 dan 3....[J]elas bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus di sini bertautan dalam suatu hubungan rangkap tiga yang tak terpisahkan.

Monoteisme fundamental
Kekristenan, yang timbul dari Yudaisme, merupakan salah satu agama monoteistik. Dalam Perjanjian Baru, konsep Trinitaris tidak pernah menjadi "triteisme" (tiga Allah) atau bahkan dua. Allah adalah esa, dan bahwa Allah adalah satu hakikat tunggal dinyatakan dengan jelas dalam Alkitab:

Shema dari Kitab Suci Ibrani: "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!"Ul. 6:4

Perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah—"Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku."Ul. 5:7

Dan "Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku."Yes. 44:6

Dalam Perjanjian Baru: "... Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa."Mrk. 12:29

Menurut pandangan Trinitaris, Bapa dan Putra dan Roh Kudus berbagi satu esensi, substansi, atau hakikat yang sama. Penegasan sentral dan krusial mengenai iman Kristen adalah bahwa terdapat satu juruselamat, Allah, dan satu keselamatan, dimanifestasikan dalam Yesus Kristus, yang dapat diakses hanya karena Roh Kudus. Allah Perjanjian Lama masih sama dengan Allah Perjanjian Baru. Dalam Kekristenan, pernyataan-pernyataan mengenai satu Allah tunggal dimaksudkan untuk membedakan pemahaman Ibrani dari pandangan politeistik, yang memandang kuasa ilahi dimiliki bersama oleh beberapa hakikat yang dapat saling berselisih paham dan terlibat konflik antara satu dengan yang lainnya.

Satu Allah sebagai tiga pribadi

Dalam doktrin Trinitaris, Allah hadir sebagai tiga pribadi atau hipostasis, tetapi satu hakikat, memiliki satu kodrat ilahi tunggal. Anggota-anggota Trinitas sama dalam kesetaraan dan kekekalan, satu dalam esensi, kodrat, kuasa, tindakan, dan kehendak. Sebagaimana dinyatakan dalam Kredo Athanasius, Bapa tidak diciptakan, Putra tidak diciptakan, dan Roh Kudus tidak diciptakan, dan Ketiganya adalah kekal (abadi) tanpa awal mula. "Bapa dan Putra dan Roh Kudus" bukan nama-nama bagian yang berbeda dari Allah, tetapi satu nama Allah karena terdapat tiga pribadi di dalam Allah sebagai satu entitas. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing pribadi dipahami memiliki kodrat atau esensi yang identik, bukan sekadar kodrat-kodrat yang memiliki kemiripan.

Bagi kalangan Trinitaris, penekanan pada kata "Kita" di Kejadian 1:26 adalah mengenai pluralitas dalam Ketuhanan, dan Kejadian 1:27 berbicara mengenai persekutuan dalam Esensi ilahi. Salah satu kemungkinan interpretasi atas Kejadian 1:26 adalah bahwa relasi Allah dalam Trinitas tercermin dalam manusia melalui relasi yang ideal antara suami dan istri, dua pribadi yang menjadi "satu daging", sebagaimana dijelaskan kemudian dalam penciptaan Hawa di bab selanjutnya.Kej. 2:18-24

Perikoresis

Perikoresis (dari kata Yunani yang berarti "berputar", "penyelubungan") adalah suatu istilah yang digunakan oleh beberapa teolog untuk mendeskripsikan hubungan antara anggota-anggota Trinitas. Kata Latin yang setara untuk istilah tersebut adalah circumincessio. Konsep ini merujuk pada Yohanes 14–17 sebagai dasarnya, yang menuliskan peristiwa-peristiwa Yesus mengajar para murid perihal makna kepergian-Nya. Kata Yesus, Ia pergi kepada Bapa demi kepentingan mereka; sehingga Ia dapat datang kepada mereka ketika "Penolong yang lain" diberikan kepada mereka. Kemudian, kata Yesus, para murid akan tinggal di dalam diri-Nya, sebagaimana Dia tinggal di dalam Bapa dan Bapa tinggal di dalam Dia, serta Bapa di dalam mereka. Menurut teori perikoresis, hal seperti itu dapat terjadi karena pribadi-pribadi Trinitas "saling mengandung Satu Sama Lain, sehingga Yang Satu secara permanen menyelubungi, dan secara permanen diselubungi oleh, Yang Lain yang tetap Ia selubungi" (Hilarius dari Poitiers, Mengenai Trinitas 3:1).

Perikoresis secara efektif meniadakan gagasan bahwa Allah terdiri dari bagian-bagian, tetapi adalah suatu keberadaan yang sederhana. Hal itu juga selaras dengan doktrin yang menyebutkan bahwa persekutuan seorang Kristen dengan Putra di dalam kemanusiaan-Nya menghantarnya ke dalam persekutuan dengan Dia yang terkandung di dalam dirinya sendiri; dalam kata-kata Rasul Paulus, "seluruh kepenuhan ke-Allahan" dan bukan suatu bagian (Lihat pula: Pengilahian (Kristiani)). Perikoresis menyajikan suatu figur intuitif tentang apa yang dapat dimaknai dari hal itu. Putra, Firman yang kekal, berasal dari kekekalan tempat kediaman Allah; Putra merupakan "rumah Bapa", sebagaimana Putra berdiam di dalam Bapa dan Roh, sehingga ketika Roh di-"berikan", maka dapat terjadi seperti kata Yesus, "Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu."Yoh. 14:18

Menurut perkataan Yesus, mereka yang telah menikah tidak lagi dua dalam pengertian tertentu tetapi bergabung menjadi satu. Oleh karena itu, para teolog Ortodoks juga memandang hubungan pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai salah satu contoh persekutuan suci tersebut. "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging."Kej. 2:24 "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."Mat. 19:6

Hubungan asal dari kekekalan

Trinitarianisme menegaskan bahwa Putra "diperanakkan" (bahasa Inggris: begotten, atau "dilahirkan") dari Bapa dan Roh dihembuskan (bahasa Inggris: proceeds, atau "berasal dari") Bapa, tetapi Bapa "tidak diperanakkan ataupun dihembuskan". Argumen mengenai apakah Roh berasal dari Bapa saja, atau dari Bapa dan Putra, merupakan salah satu katalis terjadinya Skisma Besar, dalam hal ini berkaitan dengan penambahan klausa Filioque oleh pihak Barat ke dalam Pengakuan Iman Nicea. Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa, dalam pengertian kata kerja Latin procedere (yang belum tentu mengindikasikan awal mula dan karenanya bersesuaian dengan proses "melalui"), bukan dalam pengertian kata kerja Yunani ἐκπορεύεσθαι (yang mengimplikasikan awal mula), Roh "berasal" dari Bapa dan Putra. Gereja Ortodoks Timur, yang mengajarkan bahwa Roh "berasal" dari Bapa saja, tidak memberikan pernyataan apa pun perihal klaim perbedaan makna kedua kata itu, satu Yunani dan satu Latin, sementara keduanya sama-sama diterjemahkan sebagai "berasal dari" (bahasa Inggris: proceeds). Gereja Ortodoks Timur berkeberatan atas klausa Filioque dengan alasan eklesiologis dan teologis, dengan pandangan bahwa "dari Bapa" berarti "dari Bapa saja".

Bahasa tersebut kerap dianggap menyulitkan karena, apabila digunakan berkenaan dengan manusia atau makhluk ciptaan lainnya, maka akan mengimplikasikan waktu dan perubahan; sedangkan ketika digunakan dalam konteks ini tidak untuk dimaknai bahwa terdapat awal, perubahan hakikat, ataupun proses dalam satuan waktu. Putra diperanakkan (atau "dilahirkan"), dan Roh dihembuskan, dalam kekekalan. Agustinus dari Hippo menjelaskan, "Tahun-tahun milik-Mu adalah satu hari, dan hari milik-Mu bukan setiap hari, tetapi hari ini; karena hari ini milik-Mu tidak menghasilkan hari esok, juga tidak mengikuti hari kemarin. Hari ini milik-Mu adalah kekekalan; karenanya Engkau memperanakkan Yang Sama-kekal, kepada siapa Engkau mengatakan, 'Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.'Mzm. 2:7"

Sebagian besar kelompok Protestan yang menggunakan pengakuan iman tersebut juga menyertakan klausa Filioque. Penggunaannya yang dianggap kontroversial itu termuat dalam beberapa pengakuan iman: Pengakuan Iman Westminster 2.3, Pengakuan Iman Baptis London 2.3, dan Pengakuan Iman Augsburg Lutheran 1:1–6.

Ekonomi dan imanensi Trinitas

Istilah "Trinitas imanen" berfokus pada siapa Allah; istilah "Trinitas ekonomis" berfokus pada apa yang Allah lakukan.

Menurut Katekismus Gereja Katolik:
Bapa-Bapa Gereja membedakan antara teologi (theologia) dan ekonomi (oikonomia). "Teologi" mengacu pada misteri kehidupan terdalam Allah di dalam Tritunggal Mahakudus; "ekonomi" mengacu pada semua karya yang dengannya Allah menyatakan Diri dan mengomunikasikan kehidupan-Nya. Melalui oikonomia, theologia dinyatakan kepada kita; namun, sebaliknya, theologia menerangi seluruh oikonomia. Karya Allah menyingkapkan siapa Dia dalam Diri-Nya sendiri; misteri keberadaan-Nya yang terdalam mencerahkan pemahaman kita atas semua karya-Nya. Hubungan antar pribadi manusia memiliki keserupaan: seorang manusia menyatakan dirinya dalam perbuatannya, dan semakin kita mengenal seseorang, semakin kita memahami perbuatannya.

Para teolog pra-Nicea berpendapat bahwa segala sesuatu yang dilakukan Trinitas dikerjakan bersama-sama oleh Bapa, Putra, dan Roh Kudus dalam satu kesatuan kehendak. Ketiga pribadi Trinitas selalu berkarya tanpa terpisahkan, karena selalu merupakan karya dari satu Allah. Kehendak Putra tidak dapat berbeda dengan kehendak Bapa karena merupakan kehendak Bapa. Ketiganya memiliki satu kehendak sebagaimana Ketiganya memiliki satu hakikat, sebab Ketiganya adalah satu Allah. Menurut Phillip Cary, sama sekali tidak akan ada Trinitas seandainya terdapat hubungan komando dan kepatuhan antara Bapa dan Putra, melainkan tiga Tuhan. Mengenai hal itu St. Basilius mengatakan, "Ketika kemudian Ia mengatakan, 'Aku berkata-kata bukan dari diri-Ku sendiri', dan lagi, 'Aku menyampaikannya sebagaimana yang difirmankan oleh Bapa kepada-Ku', dan 'firman yang kamu dengar itu bukanlah dari pada-Ku, melainkan dari Bapa yang mengutus Aku', dan pada bagian lain, 'Aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku', ini bukan karena Ia tidak memiliki maksud intensional ataupun kuasa inisiasi, bukan juga karena Ia harus menunggu indikasi-kunci yang telah dipastikan sebelumnya, sehingga Ia menggunakan bahasa semacam ini. Tujuan Dia adalah menyampaikan kejelasan bahwa kehendak-Nya sendiri terhubung dengan persatuan yang tak terpisahkan dengan Bapa. Jangan kemudian kita memahami apa yang disebut 'perintah' sebagai suatu mandat yang harus ditaati yang disampaikan oleh organ-organ bicara, dan memberi perintah kepada Putra, seperti kepada subordinasi, mengenai apa yang Dia harus lakukan. Sebaliknya, dalam pengertian yang tepat tentang Ketuhanan, mari kita melihat suatu transmisi kehendak, seperti pantulan sebuah objek di cermin, berlalu tanpa indikasi waktu dari Bapa kepada Putra."

Atanasius dari Aleksandria menjelaskan bahwa Putra dan Bapa adalah satu kekekalan dalam hakikat/kodrat, Putra menjadi subordinasi Bapa secara sukarela dan temporal dalam pelayanan inkarnasi-Nya. Menurutnya, karakteristik-karakteristik manusia tersebut tidak untuk ditelusuri kembali ke dalam Trinitas yang kekal. Demikian pula Bapa-bapa Kapadokia menegaskan bahwa tidak ada ketidaksamaan oikonomi di dalam Trinitas. Kata Basilius, "Kita memandang operasi dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah satu dan sama, tidak dalam aspek yang menunjukkan perbedaan atau variasi; dari identitas operasi ini kita tentu menyimpulkan kesatuan kodrat."

Teori tradisional "apropriasi" mencakup penghubungan sejumlah nama, kualitas, ataupun operasi pada salah satu dari Pribadi Trinitas, tetapi, bukan mengesampingkan yang lainnya, tetapi dalam preferensi pada yang lainnya. Teori tersebut dibentuk oleh para Bapa Latin dari abad ke-4 dan ke-5, khususnya Hilarius dari Poitiers, Agustinus, dan Leo Agung. Pada Abad Pertengahan, teori tersebut secara sistematis diajarkan oleh para akademisi seperti Bonaventura.

Roger E. Olson mengatakan kalau sejumlah teolog evangelikal memegang pandangan bahwa terdapat suatu hierarki otoritas dalam Trinitas dengan Putra sebagai subordinasi Bapa: "Injil Yohanes membuat hal ini jelas karena Yesus berulang kali menyebutkan bahwa Ia datang untuk melakukan kehendak Bapa." Namun, Olsen mengingatkan bahwa hierarki dalam "Trinitas ekonomis" perlu dibedakan dari "Trinitas imanen". Ia mengutip para Bapa Kapadokia, "Bapa adalah sumber atau 'mata air' keilahian di dalam Ketuhanan; Putra dan Roh memperoleh keilahian mereka dari Bapa dalam kekekalan (sehingga tidak ada pertanyaan tentang ketidaksetaraan kodrat). Analogi favorit mereka adalah matahari beserta panas dan cahayanya. Tidak ada yang membayangkan matahari tanpa panas dan cahayanya, tetapi matahari merupakan sumber dari keduanya."

Benjamin B. Warfield melihat suatu prinsip subordinasi dalam "modus operandi" Trinitas, tetapi juga enggan menganggap hal yang sama pada "modus subsistensi" dalam kaitan antara satu dengan yang lainnya. Sambil mengingatkan bahwa adalah wajar untuk melihat suatu subordinasi dalam fungsi sebagai cerminan suatu subordinasi serupa dalam substansi, ia mengemukakan bahwa hal ini mungkin merupakan hasil dari "...suatu kesepakatan oleh Pribadi-Pribadi Trinitas—suatu 'Perjanjian' sebagaimana itu disebut secara teknis—yang karenanya suatu fungsi berbeda dalam karya penebusan diemban oleh masing-masing."

Aspek politis

Richard E. Rubenstein mengatakan bahwa Konstantinus Agung dan Hosius dari Korduba penasihatnya menyadari akan perlunya gereja yang ditetapkan secara ilahi yang di dalamnya otoritas gereja, dan bukan individu, mampu menentukan keselamatan individu, sehingga mereka mendukung rumusan Nicea homoousion. Menurut Eusebius, Konstantinus mengusulkan istilah homoousios pada Konsili Nicea, kendati kebanyakan akademisi meragukan kalau Konstantinus memiliki pengetahuan terkait hal tersebut dan mereka menganggap bahwa kemungkinan besar Hosius yang telah mengusulkan istilah tersebut kepadanya. Di kemudian hari Konstantinus mengubah pandangannya mengenai kaum Arian, yang menentang rumusan Nicea, dan mendukung para uskup yang menolak rumusan tersebut, sebagaimana dilakukan oleh beberapa penerusnya, sementara kaisar pertama yang dibaptis dalam keimanan Nicea adalah Teodosius Agung (kaisar dari tahun 379 sampai 395). (Bersambung)


[Sumber: Wikipedia]


More Related Posts


No comments :

Blogger Comments

Contact Form

Name

Email *

Message *