Comments
Timelines
Contact
Social Media

Saturday, March 4, 2017

thumbnail

Perbedaan Arti Esa Dan Eka Dalam Bahasa Indonesia comments


Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal kata “eka” dan “esa”, dua kata yang sama-sama digunakan dan dipahami secara luas oleh penutur bahasa Indonesia sebagai kata ganti untuk menyatakan ‘satu, tunggal’ (KBBI Edisi-V versi daring). Kendati demikian, bila ditinjau dari aspek morfologi sesungguhnya makna dari kedua kata ini berbeda. 

Eka, seperti yang kita ketahui, adalah bentuk terikat, alias tidak dapat berdiri sendiri sebagai satu kata yang mandiri. Kata ini biasanya ditulis serangkai dengan kata lain yang mengikutinya semisal ekabahasa (hanya memahami dan menggunakan satu bahasa; bersifat monolingual),  ekakarsa (satu kehendak; satu niat), dan lain-lain serupa itu. Sedangkan di sisi lain, “esa” bukan kata yang terikat

Dalam KBBI Edisi-V versi daring, esa dikategorikan dalam kelas kata numeralia (bilangan). Dan sebagai numeralia, esa pun dapat dibubuhi afiksasi. Misalnya, keesaan (sifat yang satu), atau mengesakan (menjadikan, menganggap satu).

Lalu, apakah eka dan esa sama-sama bermakna satu? 
Mari kita lihat etimologinya.

“Eka” adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Indonesia. Dalam Sanskrit Loan Words in Indonesian (1997) karya JG de Casparis, eka bermakna satu. Sedangkan sumber lain; Kamus Klasik Sanskrit-English Disctionary (M Monier-Williams, 1909), memaknai eka sebagai satu, sendiri, tersendiri, single, dan terjadi sekali.

Sama seperti eka, esa juga berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam Sanskrit Loan Words in Indonesian (1997) karya JG de Casparis, "esa" bermakna 'satu, hanya satu (one, only)'. 

Merujuk Sanskrit-English Disctionary (yang dikutip oleh de Casparis), esa juga mengacu pada ‘Tuhan' (Lord). Sementara menurut sumber lain, Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Purwadarminta makna esa adalah sebagai tunggal, satu.

Meski sama-sama bermakna ‘satu’, tapi 'eka' dan 'esa' digunakan dalam konteks yang berbeda. “Esa” digunakan untuk segala sesuatu yang merujuk kepada Tuhan. Misalnya seperti yang tertulis dalam sila pertama Pancasila: "Ketuhanan yang Maha Esa", atau dalam frasa "Keesaan Tuhan". Sedangkan "Eka" digunakan untuk menunjuk kata bilangan seperti "Bhineka Tunggal Ika", atau "Ekabangsa" dlsb.

Sejauh ini, hampir tidak pernah ditemui penggunaan kata esa yang bukan dalam konteks ketuhanan.

Ini berbeda dengan “eka” yang cenderung lebih jamak dan longgar digunakan dalam pelbagai situasi dan konteks. Seperti, ekabahasa, ekawarna, ekafungsi, dan ekasuku. Eka- sebagai kata bilangan juga memiliki numeralia sejenis lainnya seperti dwi-, tri-, catur-, panca- dan sebagainya.

Jika eka memiliki bentuk jamak, maka esa tidak memiliki bentuk jamak. Ini terkait dalam konteks “Tuhan” yang tidak ada bentuk jamak untuk-Nya. "Esa" bermakna satu, tunggal, namun perlu untuk dipahami bahwa satu tidak sama dengan tunggal.

Satu adalah angka, bilangan; sementara tunggal adalah satu-satunya (numeralia), bukan jamak (ajektiva), dan utuh (ajektiva) [KBBI Edisi-V versi daring].

Kata esa lebih membutuhkan pendekatan konseptual, dibanding pendekatan numerik. Kita ambil contoh, ketika dinyatakan bahwa Tuhan itu satu, bagaimana akan dijelaskan definisi "satu" tersebut? Apakah satu yang dimaksud sama dengan dua minus satu, nol plus satu, atau empat minus tiga? Karena itu akan lebih mudah dipahami bila kita menyebut Tuhan itu Esa (tunggal). 

Kenapa?
Karena konsep tunggal dalam kata "esa"  tidak hanya berupa angka (satu), tapi juga memiliki sifat dan konsep kesatuan yang utuh. Mungkin saja itu sebabnya bahasa Indonesia tidak mengenal istilah untuk sesuatu yang tidak tunggal. Ini berbeda dengan “eka” yang sama fungsinya pada kata dwi, tri, catur, panca, dst.  

Esa tidak hanya dapat dipahami sebagai sebuah angka atau bilangan, tapi sebuah sifat yang satu, utuh, dan tidak ada duanya.


[Sumber: Hotnida Novita Sary | Liputan 6]


No comments :

Blogger Comments