Comments
Timelines
Contact
Social Media

Thursday, February 9, 2012

thumbnail

IQ, EQ & SQ comments

IQ, EQ DAN SQ
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Tentang Kecerdasan
Manusia adalah makhluk yang paling cerdas, dan Tuhan, melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan yang paling kompleks. Sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul asalkan bisa menggunakan keunggulannya. Kemampuan menggunakan keunggulan ini dikatakan oleh William W Hewitt, pengarang buku The Mind Power, sebagai faktor yang membedakan antara orang jenius dan orang yang tidak jenius di bidangnya. Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah).
Sayangnya, menurut Leonardo Da Vinci, kebanyakan manusia menganggurkan kecerdasan itu. Punya mata hanya untuk melihat tetapi tidak untuk memperhatikan, punya perasaan hanya untuk merasakan tetapi tidak untuk menyadari, punya telinga hanya untuk mendengar tetapi tidak untuk mendengarkan dan seterusnya.
Ada banyak pendapat seputar kecerdasan manusia diantaranya Thorndikeadalah salah satu ahli yang membagi kecerdasan manusia menjadi tiga, yaitu:
  1. Kecerdasan Abstrak adalah kemampuan memahami simbol matematis atau bahasa.
  2. Kecerdasan Kongkrit  adalah kemampuan memahami objek nyata.
  3. Kecerdasan Sosial adalah kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia yang dikatakan menjadi akar istilah Kecerdasan Emosional (Stephen Jay Could, On Intelligence, Monash University: 1994)
Pakar lain seperti Charles Handy juga punya daftar kecerdasan yang lebih banyak, yaitu:
  1. Kecerdasan Logika (menalar dan menghitung).
  2. Kecerdasan Praktek (kemampuan mempraktekkan ide).
  3. Kecerdasan Verbal (bahasa komunikasi)
  4. Kecerdasan Musik
  5. Kecerdasan Intrapersonal (berhubungan ke dalam diri)
  6. Kecerdasan Interpersonal (berhubungan ke luar diri dengan orang lain)
  7. Kecerdasan Spasial (Inside Organizaion: 1990)
Bahkan pakar Psikologi semacam Howard Gardner dan amp Associates memiliki daftar 25 nama kecerdasan manusia termasuk misalnya saja Kecerdasan Visual/Spasial, Kecerdasan Natural (kemampuan untuk menyelaraksan diri dengan alam), atau Kecerdasan Linguistik (kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), Kecerdasan Logika (menalar atau menghitung), Kecerdasan Kinestik/Fisik (kemampuan mengolah fisik seperti penari, atlet, dll), Kecerdasan sosial yang dibagi menjadi Intrapersonal dan Interpersonal (Dr. Steve Hallam, Creative and leadership, Colloquium in Business, Fall: 2002).

B. Konsep Tentang Kecerdasan Intelektual (IQ)
1. Pengertian Inteligensi
Perkataan inteligensi dari kata Latin intelligence yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain. Pengertian inteligensi memberikan berbagai macam arti bagi para ahli, diantaranya:
  1. Menurut panitia istilah Paedagogik (1953) yang mengangkat pendapatStern, inteligensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya. (Dr. Bimo Walgito, 1980: 192)
  2. Terman memberikan pengertian inteligensi sebagai kemampuan seseorang untuk berpikir secara abstrak. (Dr. Bimo Walgito, 1980: 192)
  3. Menurut Morgan, dkk (1984) ada dua pendekatan yang pokok dalam memberikan definisi mengenai inteligensi, yaitu:
1)         Pendekatan yang melihat faktor-faktor yang membentuk ineligensi itu yang disebut sebagai pendekatan faktor atau teori faktor.
2)       Pendekatan yang melihat sifat proses intelektual itu sendiri, yang sering dipandang sebagai teori orientasi-proses. (Dr. Bimo Walgito, 1980: 193)
Dari sekian banyak definisi tentang inteligensi yang dirumuskan oleh para ahli, secara umum dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari klasifikasi berikut:
  1. Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, beradaptasi dengan situasi-situasi baru atau menghadapi situasi-situasi yang sangat beragam.
  2. Kemampuan untuk belajar atau kapasitas untuk menerima pendidikan.
  3. Kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menggunakan konsep-konsep abstrak dan menggunakan secara luas simbol-simbol dan konsep.(Samsunuwiyati Mar’at, 2005: 163)
2. Pengukuran Inteligensi
Alfret Binet (1857-1911), seorang dokter dan psikolog Perancis bersama dengan mahasiswanya, Theopile Simon, merancang sebuah tes inteligensi, yang diberi nama “Chelle Matrique de I’inteligence” (Skala Pengukur Inteligensi) dengan tujuan untuk membedakan antara anak yang dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik dengan yang tidak. Tes ini berangkat dari konsep usia mental (Mental Age-MA), yang menganggap bahwa anak-anak yang terbelakang secara mental akan bertingkah laku seperti anak-anak normal yang berusia lebih muda. Binet  menguji 50 orang anak dari usia 3 hingga 11 tahun yang normal, serta anak yang mempunyai keterbelakangan menta juga diuji. Perbedaan antara usia mental (MA) dan usia kronologis (CA) – usia sejak lahir – inilah yang digunakan sebagai ukuran inteligensi. Anak yang cerdas memiliki MA di atas CA, sedangkan anak yang bodoh memiliki MA di bawah CA.
Sehingga, William Sterm (1871-1938), seorang psikolog Jerman, kemudian menyebutnya dengan istilah Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual yang terletak di otak bagian Cortex (kulit otak dan sering digambarkan sebagai kemampuan daro otak kiri atau lebih tepatnya diungkapkan oleh pakar psikologi dengan “What I Think”. IQ menggambarkan intelligensi sebagai rasio antara usia mental (MA) dan usia kronologis (CA), dengan rumus:
IQ = MA/CA x 100%
Angka 100 digunakan sebagai bilangan pengali supaya IQ bernilai 100 bila MA sama dengan CA. Bila MA lebih kecil dari CA, maka IQ kurang dari 100. Sebaliknya, jika MA lebih besar dari 100.
Tabel 2.1
Klasifikasi IQ
IQ
Klasifikasi
Tingkat Sekolah
Di atas 139120 – 139110 – 11990 – 10980 – 8970 – 79Di bawah 70Sangat SuperiorSuperiorDi atas rata-rataRata-rataDi bawah rata-rataBorderlineTerbelakang secara mentalOrang yang sangat pandaiDapat menyelesaikan studi di universitas tanpa banyak kesulitanDapat menyelesaikan sekolah lanjutan tanpa kesulitanDapat menyelesaikan sekolah lanjutanDapat menyelesaikan sekolah dasarDapat mempelajari sesuatu tapi lambatTidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah
Sumber: (Samsunuwiyati Mar’at, 2005: 165)
Tes inteligensi ini mengalami perkembagan terus. Pada tahun 1938 David Weschler membuat tes Weschler Intelligence Scale for Children (WISC) untuk anak-anak dan Weschler Adult Intelligence Scale (WAIS) untuk orang dewasa. ((Dr. Bimo Walgito, 1980: 199)
Tetapi namanya juga temuan manusia, istilah teknis yang berasal dari hasil kerja Alfred Binet ini lama kelamaan mendapat sorotan dari para ahli dan mereka mencatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbaruhi, yaitu:
  1. Pemahaman absolut terhadap skor IQ : Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar.
  2. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika : Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.
3. Teori-teori Inteligensi
Dalam teori inteligensi ada dua kubu yang bertentangan, ada yang menganggap bahwa inteligensi sebagai suatu kemampuan umum yang merupakan suatu kesatuan dan ada yang menganggap bahwa inteligensi ditentukan oleh banyaknya kemampuan yang saling terpisah.
a. Charles Spearman (1863 – 1945)
Chares Sperman mengembangkan pendekatan analisis faktor, ia percaya adanya suatu faktor  inteligensi umum, atau faktor “G” yang mendasari faktor-faktor khusus atau faktor “S” dalam jumlah yang berbeda-beda. Orang dapat dikatakan secara umum pandai atau sebaliknya, tergantung dari fakor “G” yang dimiliki. Menurut Sperman, orang yang cerdas mempunyai banyak sekali faktor umum, dan faktor umum ini merupakan dasar dari semua perilaku cerdas manusia, mulai dari keunggulan di sekolah sampai pada kemampuan berlayar.(Samsunuwiyati Mar’at, 2005: 166)
b. Louis Thurstone (1877 – 1955)
Louis Thurstone menekankan pada aspek yang terbagi-bagi dari inteligensi yang menganggap bahwa inteligensi dapat dibagi menjadi sejumlah kemampuan primer. Menurut Thurstone, inteligensi umum yang dikemukakan oleh Sperman itu pada dasarnya terdiri dari 7 kemampuan primer yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.2
Kemampuan Mental Primer Thurstone
InteligensiKemampuan
Verbal ComprehensionWord Fluency NumberSpace MemoryPerceptual Speed

ReasoningKemampuan memahami makna kataKemampuan memikirkan kata secara tepat, seperti memikiran kata-kata yang bersajak.Kemampuan bekerja dengan angka dan melakukan perhitunganKemampuan memvisualisasikan hubungan bentuk ruang, seperti mengenali gambar yang sama yang disajikan dala sudut pandang yang berbeda.Kemampuan mengingat stimulus verbalKemampuan menangkap rincian visual secara cepat serta melihat persamaan dan perbedaan antara objek yang tergambar.Kemampuan menemukan aturan umum berdasarkan contoh yang disajikan, seperti menentukan bentuk keseluruhan rangkaian setelah disajikan sebagian dari rangkaian tersebut.
Sumber: (Samsunuwiyati Mar’at, 2005: 167)
Pendukung dari teori ini adalah Howard Gardner yang mengatakan bahwa kita tidak mempunyai satu nteligensi saja, tetapi malah memiliki banyak inteligensi (multiple inteligensi), masing-masing inteligensi meliputi keterampilan-keterampilan kognitif yang unik dan ditampilkan dalam bentuk yang berlebihan pada orang-orang yang berbakat dan idiot yag memiliki keterampilan di bidang-bidang tertentu, seperti melukis, musik dan lain-lain. Gardner juga menekankan bahwa kerusakan otak mungkin mengurangi satu jenis kemampuan, tetapi tidak pada kemampuan lain.
c. Robert J. Stenberg (1988)
Stenberg memperkenalkan teori kontemporer tentang inteligensi yang dikenal dengan “Triarchic Theory of Intelligence.” Teori ini merupakan perluasan dari pendekatan psikometrik dan menggabungkannya dengan ide-ide terbaru dari riset terhadap bagaimana pemikiran terjadi yang memiliki tiga aspek yaitu:
Tabel 2.3
Aspek Intelektual Stenberg
Inteligensi
Kemampuan
Componential  Experiential ContextualPengkodean dan penggambaran informasi, dan perencanaan pelaksanaan solusi atas permasalahan pelaksanaan solusi atas permasalahan-permasalahan.Mampu memadukan maslaah-masalah baru dan masalah-masalah lama dengan cara-cara baru, mampu memecahkan masalah secara optimis.Mampu menyesuaikan, mengubah dan memilih lingkungan belajar untuk dijadikan sebagai sarana dalam pemecahan masalah.
Sumber: (Samsunuwiyati Mar’at, 2005: 169)
Dari tabel di atas, dapat ditari sebuah kesimpulan bahwa kesuksesan dalam hidup atau karir dibutuhkan suatu tipe inteligensi yang sangat berbeda dengan yang dibutuhkan dalam kesuksesan akademis, dan kebanyakan psikolog percaya bahwa IQ tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kesuksesan dalam berkarir.

C. Konsep Tentang Kecerdasan Emosional (EQ)
Berdasarkan hasil penelitian Daniel Goleman, mengatakan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual (IQ), sedangkan pikiran emosional dgerakkan oleh emosi.
Menurut Goleman (1995), kecerdasan emosional (EQ) merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan ini di otak berada pada otak belakang manusia atau sering digambarkan sebagai kemampuan otak kanan dan  lebih tepat diungkapkan dengan “What I Feel”.(Samsunuwiyati Mar’at, 2005: 170)
Daniel Goleman mengklasifikasikan kecerdasan emosional atas lima komponen yang penting, yaitu: mengenali emosi, (2) mengelola emosi, (3) motivasi diri sendiri, (4) mengenali emosi orang lain, dan (5) membina hubungan.
Sebenarnya, penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (Mental Age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis dengan usia kalender (Chronological Age). Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek-aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang. Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Sejumlah penelitan terbaru mengenai otak manusia semakin memperkuat keyakinan bahwa emosi mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan keberhasilan belajar anak. Penelitian Le Doux misalnya menunjukkan betapa pentingnya integrasi antara emosi dan akal dalam kegiatan belajar. Tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak akan berkurang dari yang dibutuhkan untuk menyimpan pelajaran dalam memori. Hal ini karena pesan-pesan dari indera-indera kita yaitu dari mata dan telinga terlebih dahulu tercatat pada struktur otak yang paling terlibat dalam memori emosi yaitu amigdala, sebelum masuk ke dalam neokorteks. Perangsang amigdala agaknya lebih kuat mematrikan kejadian dengan perangsangan emosional dalam memori. Semakin kuat rangsangan amigdala, semakin kuat pula pematrian dalam memori.(Samsunuwiyati Mar’at, 2005: 173)
Dalam buku ESQ yang ditulis oleh Ary Ginanjar Agustian menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang sesungguhnya adalah kecerdasan emosi.

D. Konsep Tentang Kecerdasan Spiritual (SQ)
Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University dalam bukunya Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence mendefinisikan kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value , yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.(Ari Ginanjar Agustian, 2001: 13)
Kecerdasan spiritual terletak dalam suatu titik yang disebut dengan God Spot. Kecerdasan inilah sebagai penentu kesuksesan seseorang. Kecerdasan ini menjawab berbagai macam pertanyaan dasar dalam diri manusia. Kecerdasan ini menjawab dan mengungkapkan tentang jati diri seseorang, “Who I am”. Siapa saya? Untuk apa saya diciptakan?
Untuk membuktikan secara ilmiah tentang adanya kecerdasan spiritual ini, Zohar dan Marshall mengacu pada hasil penelitian psikolog dan neurolog. Di antaranya adalah penelitian neuropsikolog Michael Persinger di awal tahun 1990 dan penelitian ahli saraf V.S. Ramachandran di tahun 1997 yang menemukan eksistensi “titik Tuhan” (God Spot) dalam otak manusia. Pusat spiritual ini terletak di antara jaringan saraf dan otak. Bukti lain adalah neurologWolf Singer di era 1990 tentang The bending problem (problem ikatan), membuktikan adanya proses saraf dalam otak yang dicurahkan untuk menyatukan dan memberi makna atas pengalaman kita, suatu jaringan saraf yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Berdasarkan dari penelitian tersebut, Zohall dan Marshall berkesimpulan betapa SQ sangat dibutuhkan dalam mencapai kehidupan yang lebih bernilai dan bermakna, SQ telah berkembang sejak awal kehidupan hingga meninggal atau dalam ungkapan Zohall dan Marshall, SQ adalah suatu kemampuan yang sama tuanya dengan umat manusia. (Samsunuwiyati Mar’at, 2005: 170)
Untuk itu, berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. Pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif dan kognitif  manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience). Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari
Lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Roberts A. Emmonts, The Psychology of Ultimate Concerns:
  1. Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material
  2. Kemampuan mengalami tingkat kesadaran memuncak
  3. Kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari
  4. Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah
  5. Kemampuan untuk berbuat baik


PEMBAHASAN

A. Hubungan Antara Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ)
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada manusia memiliki tiga potensi kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan intelektual yang didefinisikan sebagai kecerdasan yang berkaitan dengan pikiran (nalar) yang memberikan kita kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi dan sebagainya,kecerdasan emosional yang didefinisikan sebagai kecerdasan yang berkaitan dengan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, dan kecerdasan spiritual yang didefinisikan sebagai kecerdasan yang menunjuk pada pusat diri yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.
Ketiga kecerdasan ini mempunyai keterkaitan satu sama lain, keseimbangan antara IQ, EQ dan SQ  sangat dibutuhkan. Di Indonesia, kebanyakan orang sangat mengandalkan IQ dalam penerimaan-penerimaan militer ataupun berbagai bidang lain. Mereka tidak menyadari bahwa IQ hanya menyumbang 5% (maksimal 10%) dari kesuksesan seseorang, yang paling berpengaruh adalah EQ dan SQ seseorang. Sebagaimana yang dipopulerkan  oleh K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym  dan Ary Ginanjar  dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Berikut akan dijelaskan bagaimana IQ tanpa EQ dan bagaimana IQ dan EQ tanpa SQ.
1. IQ tanpa EQ
Coba pikir, mulai dari kita belajar di Sekolah Dasar dari sistem NEM sampai kuliah sekarang dengan sistem IPK. Bahkan tidak jarang banyak perusahaan yang merekrut seseorang berdasarkan dari tes IQ saja. Padahal, menurut penelitian IQ hanya mempengaruhi kesuksesan sebesar 5% (maksimal 10%) saja.
Seperti apa IQ tanpa EQ?
Coba kita pahami berdasarkan kisah singkat berikut:
Eki memang tidak terlalu pintar dalam mata kuliah statistik. Entah kenapa pelajaran itu terasa berat dan susah ‘nyantol’ di otaknya. Di semester lalu ia mendapatkan nilai D untuk pelajaran itu. Namun Eki tidak putus asa, semester berikutnya dia mencoba lagi dengan perjuangan yang begitu keras. Dan pada akhir semester, dia berhasil mendapatkan nilai B. Betapa senangnya hati Eki ketika itu.
Di saat kesenangannya itu dia bercerita kepada Iko salah satu seorang temannya. “Ko akhirnya statistik ku dapat nilai B”, ujar Eki dengan hebohnya bagai mendapatkan durian runtuh.
“Ah baru dapat nilai B saja sudah seneng, aku yang dapat nilai A biasa-biasa saja”, sahut Iko. Iko memang terkenal pintar di kelasnya. Eki yang saat itu sedang berbinar-binar tiba-tiba langsung menciut hatinya ketika mendengar komentar dari Iko. Bagaikan kompor yang sedang menyulut tinggi tiba-tiba padam karena tersiram air.
Coba kita lihat bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh Iko. Memang dia pintar, tetapi tidak mampu memahami perasaan yang dialami oleh Eki. Banyak orang di dunia ini pintar namun tidak mampu berkomunikasi secara perasaan kepada orang lain. Bagaikan paku yang pernah dihujam ke sebatang kayu, walaupun bisa dicopot kembali namun lubang itu akan masih tetap ada.
Sekarang kita lihat bagaimana EQ bekerja terhadap situasi seperti ini
Hei, kenapa kamu terlihat sedih hari ini Ki?” sapa Intan begitu masuk kelas.
Ya, aku Cuma dapat nilai B dalam statistik”, ujar Eki dengan nada lesu karena habis terciutkan oleh perkataan si Eko.
“Wow hebat dong. Kamu ngulang lagi kan kemarin gara-gara dapat nilai D, berarti bagus dong sekarang dapat nilai B”, hibur Intan kepada Eki.
“Iya, tapi si Iko dapat nilai A dan begitu aku cerita kepadanya…”
“Yaaah… kamu tau sendiri kan si Iko orangnya gimana? Tak perlu risau, udah jangan kau masukkan ke dalam hati omongan dia. Aku tahu kok perjuangan kamu, kamu sudah berusaha giat untuk mengejar nilai ini. Dan ingat tidak bahkan tiap hari minggu kamu bertanya kepada orang tentang hal yang tidak kamu mengerti. Malah aku salut melihat mahasiswa kayak kamu Ki”, ujar Intan membanggakan Eki dan senyum mulai terlihat di bibirnya.
Begitulah EQ bekerja dan mampu memberikan kesuksesan dalam diri kita. EQ dan komunikasinya yang baik mampu memberikan apresiasi ke dalam diri sendiri dan orang lain seperti yang dilakukan Intan. Walau Intan sebenarnya juga tidak kalah pintarnya dalam pelajaran dibandingkan Iko, namun dia juga pintar memahami perasaan orang lain. EQ membantu kita menjadi seseorang yang sukses dalam bersosial dan berkehidupan.
2. IQ dan EQ tanpa SQ
Banyak orang yang cakap dan pintar di dunia ini, salah satunya adalah Hitler. Kita semuan mengenal Hitler sebagai pemimpin yang handal. Mampu mempengaruhi sebagian belahan dunia untuk berada di dalam kekuasaannya. Hitler termasuk salah satu pemimpin yang hebat dalam hal IQ dan EQ. Buktinya dia mampu dielu-elukan oleh para pengikutnya. Bahkan ada sebuah statement yang berasal dari dia, “Seribu kebohongan akan menjadi satu kebenaran”.Namun di balik kejayaan, dia punya niatan yang buruk, tujuan yang tidak mulia. Itulah gambaran orang yang memiliki IQ dan EQ namun tanpa SQ, tidak menyadari makna dalam diri serta siapa dirinya dan untuk apa dirinya diciptakan.
Contoh lain di Indonesia adalah koruptor. Untuk menjadi seorang koruptor harus memiliki EQ dan IQ yang baik, dia cerdas dan harus pintar berstrategi, bernegosiasi dan merebu hati orang lain untuk mau diajak berspekulasi dan berkompromi. Semangat juang tinggi? Tentu, mereka tampak selalu prima dan percaya diri. Namun akhlak dan moralnya masih bobrok.

B. Aplikasi IQ, EQ dan SQ Dalam Kehidupan Sehari-hari
IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat berasal dari proses:
  1. Merumuskan keputusan
  2. Menjalankan keputusan atau eksekusi
  3. Menyikapi hasil pelaksanaan keputusan
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi), bukan berdasarkan pada kebiasaan atau preferensi pribadi suka atau  tidak suka. Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada. Rencana keputusan yang hendak kita ambil adalah hasil dari penyaringan logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan. Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini, yang harus dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menggunakan rumusan logika atau matematis untung rugi. Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan pada mereka). Dan untuk itulah diperlukan SQ untuk menyikapi hasil pelaksanaan keputusan yang kita buat.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas kami dapat menyimpulkan, antara lain:
  1. Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berkaitan dengan pikiran (nalar) yang memberikan kita kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi dan sebagainya, kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang berkaitan dengan perasaan, kesadaran serta pemahaman tentang emosi dan kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, sedangkan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang menunjuk pada pusat diri yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan.
  2. IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan.
  3. Peran IQ, EQ dan SQ dalam kehidupan digunakan untuk mengambil keputusan dalam hidup kita. IQ berperan ketika kita merumuskan keputusan, EQ berperan ketika kita menjalankan keputusan dan SQ berperan ketika kita menyikapi pelaksaan keputusan.
B. Saran
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to live together (EQ) , dan learning to be (SQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya. Sebagai saran tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa:

“INI BUKAN TENTANG SEBERAPA CERDAS ANDA,
 TETAPI BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS!”

Dan sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Hajj ayat 46 yang artinya:

”Tiadakah mereka mengembara di muka bumi,
sehingga mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka mengerti,
dan mempunyai telinga yang dengan itu mereka mendengar! 
Sungguh, bukanlah matanya yang buta, tetapi yang buta ialah hatinya, 
yang ada dalam (rongga) dadanya.”




DAFTAR PUSTAKA

[Dari Catatan BEM Psikologi UIT]



No comments :

Blogger Comments