Comments
Timelines
Contact
Social Media

Tuesday, July 12, 2011

thumbnail

Makrifatullah comments


Tidak ada yang kita ingat-ingat, tidak ada yang kita tuju, tidak ada yang kita takuti, tidak ada yang kita cintai, dan tidak ada yang kita sembah, kecuali ALLÂH SWT.

MUKADDIMAH 

Sahabatku rahimakumullah,
Dalam kuliah ma’rifatullah akan tergambar betapa Islam merupakan integrasi antara... ~ syariat-tarikat-hakikat ~ Ketiga unsur ini terpusat dan dilandasi ma’rifatullah.

Dalam hadis Nabi saw yang popular disebutkan bahwa:

Awwalu al-dîn ma’rifatullâh
Awal agama adalah mengenal Allah

Al-diin, ialah wahyu Allah yang sesuai dengan akal sehat, dengan usaha keras kearah itu, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hadits ini tidak pernah dikenal sebagai hadis yang riwayatnya sampai kepada Nabi, tetapi di kalangan ulama dikenal berasal dari Yahya bin Mu’az al Râzi. Demikian juga ungkapan Imam al-Nawawi, bahwa hadis ini tidak jelas (tsabit).
Siapa saja yang mengenal dirinya pasti dia akan mengenal Allah sebagai “Qadim” dan siapa yang mengenal bahwa dirinya akan fana niscaya yakinlah dia bahwa Tuhannya pastilah Kekal (Baqâ). 
Dari sini dapat dipahami, bahwa jiwa riwayat hadis ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an, bahkan sejiwa. Sebagian ulama memandang bahwa hadis ini adalah perkataan Imam ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Disini bukanlah tempat untuk mempertentangkannya tetapi cukup diambil jiwanya saja karena ulama-ulama tafsir di dalam memahami surah Muhammad [47]:19 sepakat bahwa haramnya taklid dalam aqidah. Dalam istilah lain, mengenal dan memahami Allah wajib berdasarkan ilmu. Sedangkan ilmunya tentu saja ilmu dari Allah SWT.

Imam ‘Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: 
“Barangsiapa yang memilah-milah-NYA, maka sesungguhnya dia tidak mengenal-NYA. Barangsiapa yang tidak mengenal-NYA, maka dia akan melakukan penunjukan kepada-Nya. Barangsiapa yang melakukan penunjukan kepada-Nya, maka dia telah membuat batasan tentang-NYA. Dan barangsiapa yang membuat batasan tentang-Nya, sesungguhnya dia telah menganggap-Nya berbilang. 

‘Abdullah Ibnu ‘Abbas r.a. seorang sahabat Nabi -ahli tafsir al-Qur’an- , menafsirkan surah al-Dzâriât [51]:56 yang berbunyi “liya’budûni” maksudnya lima’rifatî, yaitu untuk ma’rifat kepada-Ku. Ini menunjukkan bahwa Ma’rifatullah adalah inti ajaran Islam.

Pada pembahasan yang berikutnya, akan dibahas bahwa Ma’rifat adalah puncak atau tujuan akhir manusia. Inti dan tugas semua para Nabi dan Rasul adalah Ma’rifatullah, termasuk misi utama Al-Qur’an

"Wahai Tuhanku, sebagaimana Engkau telah menjaga wajahku dari sujud kepada selain-MU, maka jagalah wajahku dari meminta kepada selain-MU". 

"Wahai Tuhanku, cukuplah bagiku kebanggaan bahwasanya Engkau menjadi Tuhan bagiku, dan cukuplah kemuliaan bagiku bahwasanya aku menjadi hamba-MU. Sesungguhnya Engkau seperti yang kuinginkan, maka jadikanlah aku seperti yang Engkau inginkan." [wasiyat dari Imam Ali r.a] 


MA’RIFATULLÂH

Sahabatku rahimakumullah,
Bila diumpamakan Ma’rifatullah itu adalah pohon, maka dahannya ada tiga yaitu:
  1. Al-Tauhîd,
  2. Al-Tajrîd,
  3. Al-Tafrîd. 
Untuk dapat memahami lebih mudah dan mendalam berikut ini uraiannya:

Al-Tauhîd.
Dahan yang pertama ini dapat dipahami berdasarkan firman Allah SWT diantaranya Surah Muhammad [47]:19.

“Hendaklah kamu mendasarkan kepada ilmu tentang“lâ ilâha illallaâh”dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa oang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”.(Surah Al-Baqarah [2]:163);
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa”(Surah Al-Ikhlas [114]: 1-4);

“Atas nama ALLAH sumber rahmat, pemancar kasih sayang. Katakanlah! ALLAH itu AHAD (satu yang tiada duanya). ALLAH tempat semua makhluk menggantungkan diri. Tidak berputera dan tidak pula diputerakan. Dan tidak ada seorangpun yang dapat menandingi-Nya”

DIA tidak beranak, maka tiadalah DIA dilahirkan; dan tidak pula Dia di peranakkan, maka tiadalah Dia menjadi terbatas. Sungguh Mahaagung Dia untuk mempunyai anak dan Mahasuci bagi-Nya untuk menyentuh wanita. DIA tidak di peranakkan, Mahasuci DIA, maka tiada sekutu bagi-NYA dalam keagungan; tidak pula DIA beranak, maka tiadalah DIA diwarisi.

Istilah TAUHID tidak kita temukan dalam al-Qur’an sehingga sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa istilah ini baru popular sesudah terbitnya buku karangan Muhammad Abduh yang berjudul Risâlah al-Tauhîd . Tetapi jika kita telusuri hadits Nabi Saww istilah ini akan kita temukan dalam riwayat al-Imam Bukhari:

“Ada seorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian, yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bertauhid saja. Orang tersebut berwasiat pada keluarganya: ~ “Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah diriku, kemudian taburkanlah separuh abu jasadku di darat dan separuhnya lagi di laut pada saat angin kencang”.~ Keluarganya pun melaksanakan wasiatnya itu. Kemudian Allah SWT berfirman kepada angin: “Kemarikan apa yang kamu ambil”. Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Allah bertanya pada orang tersebut: “Apa yang membebanimu, sehingga kamu berbuat begitu?” Dia menjawab: “Karena malu kepada-Mu”. Kemudian Allah mengampuninya”. (HR Imam Bukhari).

Dilihat dari jiwa ayat-ayat dan hadits Nabi riwayat diatas, menunjukkan betapa pentingnya Tauhid. TAUHID adalah tingkat pertama dari ma’rifatullah karena ia “qath’u al andâd” yaitu memutuskan apa saja yang dianggap sebagai sekutu bagi ALLAH SWT.

Dari segi etimologi, tauhid berasal dari akar kata wahada (fi’il mâdhi) - yuwahhidu (fi’il mudâri)- tauhîdan (mashdar) berubah jadiwâhid atau wahad dan wahîd.

Sama dengan kata farrada (fi’il mâdhi)-- yufarridu (fi’il mudâri) – tafrîd (mashdar) berubah jadi farîd.

Akar kata ahad adalah wahada, kemudan huruf wâu diganti dengan hamzah sebagaimana huruf-huruf yang dikasrah dan didhammah diganti. Orang Arab mengatakan wahhadathu apabila anda menyifati dengan sifat wahdaniyyah (menyifatkan ke-MahaESA-an-Nya).

Inti Tauhid adalah kalimat;“lâilâha illâ llaâh” (tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkah hanya Allah). Dalam ilmu balâghah susunan kalimat ini dikenal dengan susunan yang sangat balîgh (sangat tinggi sastranya) dibandingkan dengan segala ungkapan yaitu:lâ, menafikan (meniadakan)- ilâh, yang dinafikan (disangkal)-illa,istitsnâ-(pengecualian) =ALLAH, itsbât (penetapan). Jika dalam satu pertemuan seorang membuat pernyataan:“Muhammad Ali adalah seorang mubaligh”, maka pernyataan ini dapat dipahami bahwa “Muhammad Amin” bisa jadi adalah seorang mubaligh pula. Berbeda jika pernyataan itu berbunyi: “Tidak ada mubaligh disini kecuali Muhammad Ali”. Kalimat ini menunjukkan bahwa satu-satunya mubaligh di tempat itu hanyalah Muhammad Ali dan bukan yang lainnya. Disinilah letaknya ketinggian sastranya.

Kata ALLAH terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 2698 kali. Ini menunjukkan betapa pentingnya kata tersebut. Mayoritas ulama lebih cenderung berpendapat bahwa kata itu tidak musytaq-artinya tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi asli merupakan Ismu al-Dzat, yaitu nama Dzat yang tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apapun juga. 

Menurut sebagian ulama, kata ini berakar dari kata “walaha” yang berarti mengherankan atau menakjubkan. Sebab memang semua perbuatan-Nya pastilah menakjubkan bagi yang mentafakkurinya. Segala ciptaan-Nya membuat heran orang yang mengkajinya sampai sedetail mungkin, apalagi sampai pada hakekat-hakekat ciptaan-Nya pasti penelitinya akan semakin takjub, tercengang dan akan Teheran-heran akan Tuhan yang diperkenalkan oleh al-Qur’an dengan nama ALLÂH ( اللّهُ ).

Pendapat lain mengatakan bahwa kata itu terambil dari akar kata aliha, ya’lahu yang artinya menuju atau memohon. Setiap makhluk dipastikan behwa semuanya sedang menuju kepada-Nya rela atau terpaksa, siap atau lalai, sesuai dengan firman-Nya pada surah al-Baqarah [2]:156; “Innâ lillâhi wainnâ ilaihi râji’un” .

Setiap makhluk terutama manusia, untuk memenuhi kebutuhannya, pasti akan bermohon kepada Tuhan yang mereka yakini dapat mengabulkannya yaitu ALLÂH SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa kata itu pada mulanya bermakna mengabdi. Ini dapat dimaklumi karena setiap makhluk ciptaan Tuhan pasti mengabdi kepada-Nya. Diantara sekian banyak makhluk yang mengabdi, manusialah makhluk yang paling banyak membangkang dan durhaka kepada Allah.

Ulama berupaya berupaya membedakan antara kata ALLÂH dan ILÂH dalam kalimat “lâ ilâha illâ llaâh”. Imam al-Marâghi misalnya mengungkapkan bahwa ilâh = Tuhan, yakni segala sesuatu yang disembah. Penyembahan itu baik dibenarkan oleh ajaran Islam atau sebaliknya tidak ditolerir oleh Islam. Penyembahan yang tidak ditolerir oleh ajaran Islam adalah menyembah segala sesuatu selain Allah, seperti misalnya menyembah: ~ matahari, bulan, bintang, api, berhala, makhluk, roh leluhur, anak manusia, berhala atau patung dan hawa nafsu.~

Dari sini dapat dipahami bahwa ilâh mencakup seluruh objek sesembahan atau semua yang dianggap sebagai kekuatan yang menguasai hidup atau matinya sesuatu. Berbeda dengan at yang wajib wujudnya (pantas dan mutlak di ibadahi) yang diperkenalkan al-Qur’an yaitu ~ ALLÂH SWT.

~ DIA-lah yang memiliki nama yang wajib disembah; Al-Khâliq, Zat yang harus ada dan selalu ada berada dengan zat-zat lainnya yang terkenal dengan Asmâ-u al-Husnâ.

Menarik dikemukakan disini apa yang disampaikan oleh seorang ulama kontemporer dan guru besar Universitas al-Azhar Mesir, pakar bahasa Arab yaitu syekh Mutawwali al-Sya’rawi. Ia menulis dalam tafsirnya tentang khawâsh (keindahan dan ke khususan lafadz Allah). Menurutnya, Allah selalu ada dalam diri manuia walaupun ia mengingkari wujud-Nya baik melalui ucapan dan tindakan. Kata ini selalu menunjuk kepada-Nya yang diharapkan pertolongan-Nya. Perhatikan lafadz “Allâh” اللّهُ (Alif;lam;lam;hâ), bila huruf pertamanya (alîf) dihapus, maka ia akan terbaca “lillâh” yang artinya berbentuh sumpah “demi Allâh” atau “milik Allâh”. Bila satu huruf berikutnya atau huruf kedua (lam) dihapus, akan terbaca yang berarti “untuk-Nya” atau “milik-Nya”. Kemudian jika huruf berikutnya yaitu huruf ketiga (lam) dihapus juga, ia akan terbaca dan tertulis ““lahu” hu” yang dapat dibaca “huwa” sebagai dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) yang berarti DIA yaitu Allah SWT. (lihat dhamir “hu” pada ayat kursi atau al-Ikhlas).

Menarik lagi apa yang dikemukakan oleh ImamAl-Sy’râwi bahwa setiap orang yang mengeluh selalu berkata ah, ih, uh..(tanpa memandang siapa, bangsa, agama, dan keturunan). Kata ini menurut analisanya bahwa di dalamnya tersirat singkatan dari lafadz Allâh. Semua ini menunjukkan bahwa sadar atau tidak, setiap orang mengeluh kepada-Nya dan dapat ditarik satu kesimpulan bahwa keyakinan kepada-Nya atau ma’rifatullah terdapat dalam sanubari setiap insan. Inilah fitrah, sebagaimana sudah diisyaratkan di dalam al-Qur’an.

Kesempurnaan makrifat tentang-NYA adalah dengan 'tashdiiq' (membenarkan) terhadap-Nya. Kesempurnaan tashdiq terhadap-Nya adalah dengan tauhid kepada-Nya. Dan kesempurnaan tauhid kepada-Nya adalah dengan ikhlaskepada-Nya.

Barangsiapa yang melekatkan suatu sifat kepada-Nya, berarti dia telah menyertakan sesuatu kepada-Nya. Dan barangsiapa yang menyertakan sesuatu kepada-Nya, maka dia telah menduakan-Nya. Barangsiapa yang menduakan-Nya, maka dia telah memilah-milahkan (Zat)-Nya.

Sahabatku rahimakumullah,
Dalam khazanah Islam, kata "ma’rifatullâh" tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Tetapi dalam sejarah perkembangannya istilah ini lambat laun menyurut, kurang populer. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena pada kenyataannya dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam baik di TV maupun di majlis-majlis Ta’lim khususnya di Indonesia berpusat pada fikhi, dan pembahasannya pun berputar hanya pada masalah wudhu, shalat, shaum (puasa), zakat, haji. Inipun hanya sekedar lahiriyahnya saja, pembahasannya pun hanya dari satu mahzab, kemudian diklaim bahwa inilah yang dinamakan sunnah Nabi, dan yang tidak sesuai dicap bid’ah dan mengangkat dirinya menjadi Tuhan, dan mencap yang tidak sepaham sebagai ahli neraka. Na’udzu billâh, dari kesempitan dan kebodohan ini.Metode ini telah melahirkan muslim-muslim, tetapi jiwanya gersang dari daya pancaran spiritual dan akhlaknya jauh dari nilai-nilai Islam, bahwa Islam itu adalah rahmatan lil âlamîn.

Kata ma’rifatullâh berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfatan, wa ‘irfânan, wa ‘itifânan, wa ma’rifatan. Arti menurut istilah antara lain adalah; Pengetahuan yang sangat pasti tentang al-Khâliq (Allah SWT) yang diperoleh dari hati sanubari. Ma’rifat adalah hadirnya al-Haq sementara kalbunya selalu berhubungan erat dengan nur-Nya.

DR. Mustafa Zuhri mengungkapkan bahwa ma’rifat adalah; ketetapan kalbu dalam meyakini wujudnya al-Wâjib (Allah Swt) yang menggambarkan segala kesempurnaan;

Sedangkan Imam al-Qushairî berkata: ” ma’rifat membuat ketenangan dalam kalbu sebagaimana ilmu membuat ketenangan pada akal pikiran."

Semakin meningkat ma’rifat seseorang, semakin meningkat pula ketenangan kalbunya. Ma’rifat seseorang akan membawanya kepada puncak kemerdekaan yang hakiki, bukan kemerdekaan yang semu. Tidak ada yang ditakuti dalam hidupnya hanya yang satu itu Allah Swt sehingga dia benar-benar merdeka dalam hidupnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa Ma’rifatullâh adalah awal dari al-dîn (keber-agama-an) seseorang. Meskipun sebagian orang menempatkannya pada tingkat tertinggi sesudah syareat, tarekat, dan hakekat. Mereka tampaknya membagi dan memecahkan Islam pada “kepingan-kepingan” yang berserekan dan hanya tenggelam dalam ruang lingkup sareat atau fikhi dalam istilah yang sempit.


URGENSI MA’RIFATULLÂH 

Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

“Awwalu al-dîn ma’rifatullâh” 

Fondasi (azas) dari al-dîn (keberagamaan) adalah ma’rifatullah.
Secara sederhana ma’rifatullah berarti mengenal Allah atau merasakan kehadiran-Nya.

Kebeningan hati seseorang tergantung kualitas ma’rifat-nya dan kehancuran diri, keluarga, sampai kepada hancurnya satu bangsa intinya bersumber dari ketidaktahuan-nya tentang ma’rifatullah. Kemampuan dalam merasakan kehadiran Illahi dalam kehidupan ini, bahwa DIA bersama kita, maka secara otomatis dapat mengantarkan seseorang untuk melaksanakan ibadah secara baik seperti shalat, shaum, zakat dan haji, serta ibadah-ibadah social lainnya. 

Ma’rifatullâh yang tertancap dalam jiwa akan menjauhkan diri seseorang untuk melakukan suatu maksiat dalam bentuk apapun seperti berbohong, korupsi, mark-up anggaran yang merugikan perusahaan, apalagi yang merugikan bangsa dan negara. Tidak akan ada peluang untuk untuk mengkhianati keluarga, teman, mitra kerja, bangsa dan Negara sekalipun. 

Membina keluarga dan mendidik anak-anak sejak dini dengan ma’rifatullah akan melahirkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, serta melahirkan anak-anak dan generasi yang shaleh dan rumah tangganya, hanya kematian yang memisahkannya, karena nanti akan bertemu lagi di didalam surga.

Dengan penataan diri lewat ma’rifatullah, hidup ini menjadi semakin indah, tenang tenteram tanpa rasa takut, bahkan rezekinya dijamin oleh Allah dan dia akan memperleh rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Disamping itu, kegoncangan jiwa dapat teratasi seperti susah tidur (insomnia), stress dan depresi baik dikala menghadapi masalah di rumah, di kantor atau di tempat kerja termasuk diakhir masa kerja (pensiun). Hati selalu bersama dengan-Nya sekalipun dalam keramaian, dan selalu tuma’ninâh (nikmat) dalam ibadah.Kebodohan terhadap-Nya merupakan awal dari segala malapetaka yang akan menimpanya dan akan berbuah penyesalan yang tak kunjung berakhir hingga di akhirat kelak.

"Wahai Ghulam, jika khalwatmu bersama Allah Swt. telah benar, hatimu tentu akan tercengang dan menjadi bersih. Pandanganmu dapat menarik pelajaran, hatimu bertafakur, ruh dan maknamu sampai pada Al-Haq Azza wa Jalla. Berfikir perihal dunia adalah siksaan dan hijab. Tetapi memikirkan akhirat adalah ilmu dan menghidupkan hati. Orang yang bertafakur diberi ilmu tentang keadaan dunia dan akhirat.” (Syaikh Abd.Qadir al-Jailani)

“Ya Allah, dekatkanlah kami kepada Engkau, jangan jauhkan kami dari Engkau. Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari siksa api neraka.”

Selanjutnya, silahkan simak juga penjelasan tentang "ALLASTU BIRABBIKUM" di sini.


~ Subhanakallâhumma Robbana wabihamdika, Allâhummaghfirlî ~ 

[Dari Al-Ustadz KH.Muhtar Adam Fadhlulah Muh.Said dalam bukunya: “Ma’rifatullah”]



No comments :

Blogger Comments