Comments
Timelines
Contact
Social Media

Monday, August 9, 2010

thumbnail

Puasa Bagi Wanita comments

Berpuasa di bulan Ramadhan adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah. Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam dan salah satu kerangka bangunan Islam. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ. [البقرة: ١٨٣]
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS. Al-Baqarah[2]: 183)

* Arti kutiba adalah furidha (diwajibkan).

Apabila seorang gadis telah baligh, yang diketahui dari salah satu tanda-tandanya, di antaranya adalah haidh, maka dia telah wajib berpuasa. Kadang-kadang seorang gadis telah haidh padahal usianya baru 9 tahun. Sebagian orang tidak tahu, bahwa hal itu telah mewajibkannya berpuasa. Untuk itu, janganlah menganggap bahwa dia masih kecil, sehingga keluarga dia tidak menyuruhnya berpuasa. Ketahuilah, bahwa ini pelanggaran besar, karena meninggalkan salah satu rukun Islâm yang ada. Bagi siapapun (seorang gadis) yang telah mengalami haidh, wajib mengqadha (mengulangi) puasa yang telah ditinggalkannya ketika permulaan haidh, walaupun kejadiannya telah lama berlalu. Karena hal itu tetap merupakan tanggung jawabnya. [1]

A. Siapa yang Diwajibkan Puasa Ramadhan?
Apabila telah masuk bulan Ramadhan diwajibkan berpuasa atas setiap muslim dan muslimah yang sudah baligh, sehat dan dalam keadaan mukim atau menetap di suatu tempat. Sedangkan bagi orang yang sakit dan yang berada dalam perjalanan (safar) kemudian mereka berbuka, maka wajib bagi mereka menggantinya di hari lain di luar bulan Ramadhan, sejumlah hari berbukanya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ.ۗ [البقرة: ١٨٥]
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah[2]: 185)

Orang yang mendapati bulan Ramadhan sedangkan dia sudah lanjut usia sehingga tidak mampu lagi menjalankan puasa, atau bagi orang yang sakit menahun yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka boleh baginya tidak berpuasa dan sebagai gantinya dia harus memberi makan kepada seorang miskin setiap hari setengah sha’ makanan pokok di daerahnya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ.ۗ [البقرة: ١٨٤]
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin).” (QS. Al-Baqarah[2]: 184)

((قَالَ عَبْدُ اللهِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: هِيَ لِلْكَبِيْرِ الَّذِي لاَ يُرْجَى بُرُؤُهُ)) رواه البخاري
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata: “Yaitu bagi orang yang telah lanjut usia yang tidak ada harapan kesembuhan (kembali kuat).” (HR. Al-Bukhari)

Bagi orang yang sakit yang tidak ada lagi harapan kesembuhan termasuk dalam hukum orang lanjut usia. Sehingga tidak ada kewajiban qadha baginya. Sebab baginya tidak ada kemungkinan untuk melaksanakan hal itu. Arti يُطِيْقُوْنَهُ adalah menempuh kesusahan.

Khusus bagi wanita yang terkena udzur (halangan), diperbolehkan berbuka di bulan Ramadhan, kemudian mengqadha sejumlah hari yang ia tinggalkan (berbuka) karena udzur tersebut pada hari-hari di luar Ramadhân. Adapun udzur (halangan) tersebut adalah:

1. Haidh dan Nifas
Diharamkan bagi wanita yang haidh dan nifas untuk berpuasa, dan wajib menggantinya (qadha) di hari-hari lain di luar bulan Ramadhan. Sebagaimana hadits dari ‘Aisyah, ia berkata:

((كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ)) رواه البخاري ومسلم
Kami diperintah untuk mengqadha (mengganti) puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini sesuai dengan apa yang ditanyakan seorang perempuan kepada ‘Aisyah: “Mengapa wanita haidh mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?” Beliau menjelaskan bahwa ini termasuk keputusan yang disertai nash.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/251) berkaitan dengan hikmah yang dapat diambil dari perkara di atas: “Ketika darah haidh keluar terdapat darah lain yang juga ikut keluar. Bagi wanita haidh dimungkinkan berpuasa di luar waktu-waktu keluarnya darah haidh dan darah lain yang keluar pada masa haidh. Maka, wanita yang berpuasa dalam keadaan tidak haidh atau tidak keluar darah lainnya bersama haidh, adalah puasa yang adil. Karena tidak ada sesuatu darah pun -yang merupakan kekuatan badan- yang keluar dari tubuhnya. Apabila dia berpuasa di saat haidh, maka hal ini akan menyebabkan tenaganya menjadi berkurang dan akan lemah. Oleh karena itu, yang adil adalah meninggalkan puasa dan diperintahkan untuk berpuasa selain waktu-waktu haidh.”

2. Hamil dan Menyusui
Bagi wanita hamil dan menyusui apabila berpuasa akan membahayakan dirinya atau bayinya atau bahkan bagi keduanya, maka wanita tersebut boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.

Apabila dia berbuka karena hal itu membahayakan bayinya saja bukan bagi ibunya, maka ia mengqadha puasa sejumlah hari yang ia tinggalkan dan memberi makan orang miskin setiap hari. Sedangkan apabila hal itu membahayakan bagi dirinya (ibunya), maka cukup baginya mengqadha saja. Hal tersebut dikarenakan masuknya wanita tersebut dan wanita menyusui ada pada umumnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ.ۗ [البقرة: ١٨٤]
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin).” (QS. Al-Baqarah[2]: 184)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah berkata di dalam Tafsir-nya (1/379): “Dan masuk dalam pengertian ayat ini adalah wanita hamil dan menyusui, apabila keduanya takut atas dirinya atau anaknya.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata: “Jika seorang wanita hamil takut atas janinnya, maka boleh baginya tidak berpuasa dan mengqadhanya sebanyak puasa yang ditinggalkannya serta memberi makan seorang miskin setiap hari (yang ditinggalkannya) satu kali (8 ons) roti.” (25/318)

B. Peringatan:
1. Wanita istihadhah, yaitu wanita yang keluar darah pada waktu selain waktu-waktu haidh -sebagaimana penjelasan yang lalu-, wajib baginya berpuasa dan tidak boleh berbuka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata sebagaimana beliau sebutkan tentang ‘berbukanya wanita yang haidh’: “Istihadhah berbeda (dengan haidh), waktunya umum dan tidak menentu. Tidak mungkin menghindar dari hal-hal seperti: muntah, keluar darah karena luka, bisul, mimpi basah dan lain sebagainya. Kejadian-kejadian tersebut tidaklah menjadi penghalang untuk tidak berpuasa seperti halnya darah haidh.” (25/251)

2. Wanita haidh, hamil dan menyusui, wajib bagi mereka mengqadha puasa sejumlah hari yang ditinggalkan antara bulan Ramadhan yang bersangkutan hingga bulan Ramadhân berikutnya, dan mempercepatnya adalah lebih baik. Sedangkan apabila tidak tersisa sampai bulan Ramadhan yang akan datang kecuali sejumlah hari yang ditinggalkan, maka sesungguhnya mereka wajib melaksanakan qadha sampai sebelum masuk bulan Ramadhân yang baru (berikutnya), sebagai kewajiban puasa mereka dari Ramadhan yang sebelumnya. Jika mereka tidak melaksanakan dan sudah masuk bulan Ramadhân (yang baru) sedang mereka tidak memiliki halangan di dalam mengakhirkannya, maka kewajiban mereka beserta qadhâ adalah memberi makan seorang miskin setiap harinya. Dan apabila mereka menjumpai halangan, maka tidak wajib atas mereka kecuali hanya mengqadha. Begitu juga bagi wanita yang berkewajiban mengqadha yang disebabkan sakit atau melakukan perjalanan, maka hukumnya seperti hukum wanita yang berbuka karena haidh, sebagaimana penjelasan yang lalu.

3. Tidak boleh bagi seorang istri berpuasa sunnah di saat suaminya ada di rumah kecuali dengan seizinnya, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((لاَ يَحِلُّ لإِمْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ)) رواه البخاري ومسلم وغيرهما
Tidak dihalalkan bagi seorang istri berpuasa sedangkan suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari-Muslim dan lainnya)

Dalam sebagian riwayat:
((إِلاَّ رَمَضَانَ)) رواه أحمد وأبو داود
Kecuali Ramadhan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Adapun apabila diizinkan oleh suami untuk melaksanakan puasa sunnah, baik suaminya tidak ada di sisinya atau mungkin ia tidak bersuami, maka ia disunnahkan berpuasa untuk hari-hari yang disunnahkan seperti: Senin-Kamis, tiga hari dari setiap bulan, 6 hari di bulan Syawwâl, 10 Dzulhijjah, hari Arafah, hari Asyura serta sebelum dan sesudah Asyura. Di luar hari-hari yang diperbolehkan puasa sunnah tersebut, maka kewajibannya adalah puasa qadha dari bulan Ramadhan sebelumnya. Wallaahu a’lam.

4. Bagi wanita haidh, apabila telah suci di pertengahan (siang) hari dari Ramadhan, maka sesungguhnya ia memegang sisa harinya (yakni berpuasa) dan mengqadha hari-hari yang ia berbuka karena haidh. Pemegangan sisa hari di mana ia telah suci adalah wajib atasnya sebagai sikap menghormati terhadap waktu.

Dari: Asy-Syaikh Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân hafizhahullâh - akhwat.web.id

Footnote:
[1] Selain mengqadha puasanya, ia berkewajiban memberi makan orang miskin setiap harinya setengah sha’.

Dinukil dari تنبهات على أحكام تختص بالمؤمنات (Panduan Fiqih Praktis bagi Wanita) karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan, hal. 81-88, penerjemah: Muhtadin Abrori, editor: Ayip Syafrudin & Abu Ziyad ‘Abdullah Majid, penerbit: Pustaka Sumayyah Pekalongan, cet. ke-3 Jumadil Awwal 1428H/Juni 2007M, untuk http://akhwat.web.id.

Lebih jauh tentang puasa, silahkan simak di sini.




No comments :

Blogger Comments